Siang itu terasa masih seperti pagi, pasti karena hujan yang mengguyur di bilangan Pasar Baru. Kakiku bergerak cepat, gesit menghindari kubangan kecil jalanan yang tidak rata, sembarimenghindari tetes demi tetes air hujan yang menyerang bertubi-tubi. Belum ramai pembeli, seperti biasanya diakhir pekan, tapi toko-toko telah terbuka lebar, terang dan indah dipandang.
Kupilih jalan di sisi pinggir toko, karena air hujan masih saja mengganggu perjalanan. Cari sepatu, itu tujuanku ke Pasar Baru. Memang, sejak jaman Belanda sampai sekarang Pasar Baru dikenal sebagai surganya sepatu. Baik sepatu impor, lokal, hand made, untuk pria, wanita, bayi sampai anak-anakpun banyak.
Mencari sepatu hampir sama susahnya seperti mencari istri, harus cocok di kaki dan pas di hati. Aku tak mau salah pilih dan membuang waktu percuma untuk memasuki toko-toko yang belum pasti. Mataku terus memandang sudut atas etalase pertokoan, mencari tulisan toko sepatu. Banyak sekali nama toko sepatu sepajang jalan utama Pasar Baru, ada toko Italy, Milano, Toronto, Granada, Modern, Dinasty, Populer, Jaya Baru, Shoe Studio, Ladiva, Bata, Bucheri, Sinar, Sinar Jaya, Sinar Indah, Sinar Baru, dan Sin Lie Seng.
Feeling harus tajam, dan jika nasib baik berpihak padaku, sepatu yang pas dengan harga yang cocok, pasti kudapat. Telah puas melihat sepintas dari ujung utara sampai ujung selatan, kuputuskan untuk putar balik dan mencoba mulai masuk ke beberapa toko sepatu. Toko Bata kumasuki, toko Toronto kumasuki, toko Shoe Studio juga. Belum ada yang cocok.
Sepatu yang kucari adalah sepatu kerja dengan model boot, tinggi hingga menutupi mata kaki, memang sepatu ini merupakan model favorit yang kucari, idaman hati. Makanya tak butuh lama untuk keluar dari toko sepatu, karena model seperti itu tidaklah banyak.
Terakhir aku masuk ke toko Sin Lie Seng, agak unik memang namanya. Tapi tak apalah, toh kalau memang belum ada yang cocok, aku akan cari dilain hari. Sudah masuk, tapi sempat keluar lagi, terhenti di ujung teras toko Sin Lie Seng karena ada bapak-bapak menunjuk-nunjuk etalase sambil berkata, “Ini sepatunya bagus, saya punya sudah bertahun-tahun tidak jebol-jebol, sampai bosan aku”. Wah, bagus juga nih, pernyataan dari konsumen yang datang kembali karena puas. Kudekati bapak tadi sambil mendengarkan dia bicara kepada dua orang familinya. Nyoman namanya, datang bersama dua pemuda yang memang sedang mencari sepatu.
Tak ayal aku ikut masuk lagi mengikuti Nyoman, beberapa keterangan kudapat dari perbincangan antara aku, Nyoman dan karyawan toko. “Sepatunya enak dipakai, sekarang saya kalau hujan pakainya sepatu ini (Sin Lie Seng), tidak takut rusak”. Ungkap Nyoman. Ternyata toko ini mengeluarkan merek sepatu Sin Lie Seng, sepatu ini yang dari tadi dipromosikan oleh Nyoman kepada dua kerabatnya.
“Yang itu mas.” Jariku tegas menunjuk salah satu sepatu merk Sin Lie Seng yang berjajar di rak pajang. Ku amati dengan seksama, kulitnya bagus, jahitannya rapi. Deg-degan juga saat ku balik sepatu untuk melihat sisi dimana label harga biasa berada. Mantab, harganya di bawah perkiraanku, Rp.395.000,- cukup murah untuk sepatu dengan kualitas seperti itu. Kalau di Blok M, bisa sampai Rp.700.000,- itupun dengan kualitas yang sedikit lebih rendah.
Kuambil sendok sepatu untuk memudahkan memakainya, sambil duduk di bangku kecil. Perlahan namun pasti, ku jejakkan kaki ke lantai, sambil merasakan kenyamanan yang diberikan oleh sepasang sepatu ini. “Enak mas, tapi masih agak keras ya, atau memang seperti ini kalau masih baru?” Tanyaku ke pramuniaga yang sejak tadi setia menemaniku, diapun mengangguk tanda setuju.
Sepertinya, target utama telah aku temukan, sepatu produksi dalam negeri, kulit sapi asli, awet, nyaman di kaki dan pas di hati. Sepatu idaman sudah didepan mata tinggal menunggu ijin istri untuk meminangnya. Doakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H