Di tahun 2018, khususnya pada bulan September-Oktober, menjadi bulan yang sangat ditunggu oleh para pemburu kerja. Pasalnya, pada bulan tersebut pemerintah membuka lowongan pendaftaran CPNS dengan kuota yang cukup besar yaitu sebesar 24.817 formasi. Alhasil, pendaftar CPNS pun membengkak bahkan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah. Membludaknya pendaftar CPNS ini seakan mengindikasikan sulitnya mencari pekerjaan di zaman ini. Benarkah demikian?
Jika mengacu kepada data pada Badan Pusat Statistik, angka pengangguran di Indonesia sebenarnya menurun sebesar 0,54 persen lima tahun terakhir. Namun, rata-rata tingkat penurunan pengangguran cukup kecil yaitu hanya sebesar 0,05 persen pada setiap 6 bulan. Meskipun demikian, penurunan tingkat pengangguran terbuka tetap dapat diartikan bawah pasar tenaga kerja cukup berhasil dalam menyerap angkatan kerja.
Selain itu, rata-rata tingkat pengangguran terbuka dalam lima tahun terakhir adalah sebesar 5,67 persen. Itu berarti tingkat pengangguran di tahun 2018 yang sebesar 5,34 persen ini sudah berhasil berada dibawah rata-rata tingkat pengangguran selama 5 tahun. Oleh sebab itu, kurang tepat rasanya jika kita menyimpulkan bahwa mencari pekerjaan itu sulit.
Sulitnya mencari pekerjaan sebenarnya seakan tercermin dari membludaknya pendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil di tahun ini. Tahun 2018 merupakan tahun dengan jumlah pendaftar CPNS terbanyak. Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), tercatat sebesar 3,6 juta orang telah melakukan submit pada website sscn.bkn.go.id.
Jumlah ini meningkat sebesar satu juta orang jika dibandingkan dengan jumlah pendaftar cpns di tahun 2014. Meskipun demikian, jika jumlah pendaftar ini diproporsikan terhadap jumlah penganggur dengan pendidikan diatas SMA yaitu akademi dan sarjana, maka sebenarnya tingkat persentasenya hanya bertambah sebesar 1,57 persen saja.
Di tahun 2014, proporsi pelamar cpns dengan penganggur berpendidikan akademi dan sarjana adalah sebesar 20,68 persen sedangkan di tahun 2018 persentasenya meningkat menjadi 22,25 persen. Fakta ini menandakan bahwa tingkat penyerapan pasar tenaga kerja terhadap penganggur berpendidikan tinggi sangat kecil sekaligus memberikan indikasi munculnya persepsi bahwa mencari kerja itu sulit.
Sebenarnya jika data pengangguran dirinci menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, penduduk menganggur yang mengalami penurunan adalah yang berpendidikan SMA dan dibawahnya. Bahkan, penganggur yang berpendidikan SMK merupakan yang paling banyak peningkatannya dalam lima tahun terakhir sebesar 577.063 jiwa.
Penduduk yang menganggur dengan pendidikan sarjana dan diploma menyusul dibawahnya dengan jumlah nilai yang hampir sama. Jika dibandingkan dengan penganggur berpendidikan SMA dan dibawahnya, penurunannya memang lebih besar dibandingkan kenaikannya sehingga secara umum penganggur turun.
Meskipun demikian, tidak terserapnya tenaga kerja yang berpendidikan secara baik tentu merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat tujuan dan rencana Indonesia menghadapi revolusi industri 4.0.
Revolusi Industri 4.0 sendiri merupakan sebuah kondisi dimana terjadi perubahan yang cukup signifikan di berbagai bidang lewat perpaduan teknologi. Kemunculan teknologi pada kondisi ini seakan menghilangkan sekat antara dunia fisik, digital dan biologi.
Hadirnya robot pintar, superkomputer serta kendaraan tanpa pengemudi merupakan tanda sudah dimulainya revolusi industri keempat ini. Indonesia dengan ditabuhnya perintah untuk menuju kesana, maka persiapan SDM menjadi hal yang sangat penting untuk dapat menunjang keberhasilan dari Revolusi Industri 4.0 ini.