Lihat ke Halaman Asli

Siectio Dicko Pratama

Pemerhati kebijakan publik terutama masalah kemiskinan dan perekonomian

Kurang Membaca

Diperbarui: 26 Juli 2016   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kegiatan Membaca | Ilustrasi: Shutterstock/kompas.com"]

[/caption]Ada sebuah opini yang mengatakan bahwa dalam setiap perubahan ada tiga tipe orang yang selalu merespon. Yang pertama, adalah mereka yang merasa sudah nyaman dengan kondisi yang ada dan ingin tetap seperti dalam kondisi tersebut. Kita bisa sebut mereka sebagai kelompok yang kontra. Mereka yang tergolong dalam kategori ini, biasanya akan konsisten menolak perubahan, mengganggap hal tersebut tidak perlu. Untuk apa? Toh, itu justru akan mengubah kondisi nyaman yang telah mereka rasakan. Dan tentu, kelompok kontra ini merupakan pribadi yang sulit untuk berkembang serta cenderung memperhatikan diri sendiri.

Kedua, adalah mereka yang cuek. Golongan ini adalah mereka yang kurang lebih sama dengan si kontra tetapi mereka tidak melakukan penolakan. Si cuek ini biasanya tidak terlalu peduli dengan kondisi sekitar. Mereka cenderung mengikuti arus dan tidak berkontribusi banyak terhadap perubahan. Istilahnya, asal selamat saja. Selain itu, golongan cuek ini juga adalah mereka yang selalu pesimis dan menganggap semua itu sama saja. Itulah sebabnya mereka cuek serta meremehkan berbagai inovasi karena berpikir itu percuma. Untuk apa?

Dan yang terakhir, inilah mereka merespon perubahan secara positif. Kita bisa menyebut mereka si pro-perubahan. Si pro ini adalah mereka yang ingin berkembang dan berpartisipasi aktif dalam setiap perubahan. Mereka menganggap perubahan adalah sesuatu yang perlu dilakukan untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik. Meskipun mereka ada dalam kondisi nyaman, si pro ini akan meninggalkan kondisi tersebut dan berpartisipasi dalam perubahan. Jika si pro ini banyak berkeliaran, tentu untuk membuat sebuah Negara menjadi sesuatu yang luar biasa bukanlah hal yang sulit.

Nah, biasanya ada suatu karakteristik yang menjadi pembeda pada masing-masing orang di kelompok tersebut. Kita kan sama-sama mengetahui bahwa seseorang itu berpikir dan bertindak berdasarkan pengetahuannya. Seorang yang luas pengetahuannya tentu akan memiliki pertimbangan yang lebih banyak dibanding dengan mereka yang sedikit pengetahuannya. Dan pengetahuan itu berasal dari budaya membaca.

Saya pernah mengalami suatu kejadian yang unik. Waktu itu, ada seseorang yang meminta tolong ke saya untuk memunculkan kembali file-file yang hilang di flashdisknya yang disebabkan karena virus. Untungnya, saya pernah mengalami hal ini dan pernah membaca tentang cara mengatasinya. Otomatis saya langsung mencobanya dan alhamdulillah berhasil. Lucunya, mbak yang minta tolong itu malah mengira kalau saya ini adalah lulusan ilmu komputer. Padahal saya kan sarjana statistik. Nah, dari kisah ini saja kita bisa mengetahui bahwa selalu ada nilai lebih dari sebuah aktivitas yang bernama membaca.

Begitu juga dengan kelompok perespon perubahan diatas. Seseorang yang sering membaca, tentu akan lebih terbuka pemikirannya sehingga cenderung ada pada kelompok pro. Mereka inilah si optimis yang sadar tentang urgensi perubahan. Mereka faham tentang kenapa harus berubah karena wawasan serta pemikiran mereka lebih terbuka. Tentu, ini disebabkan karena banyak membaca. Banyak membaca membuat otak mereka gatal sehingga ingin terus meluapkan pengetahuan yang telah mereka serap.

Inilah bedanya dengan mereka yang kurang membaca. Si cuek ini adalah efek dari kurang membaca tersebut sehingga setiap kebijakan atau aturan baru ditanggapi dengan sekadarnya saja, asal selamat. Keterbatasan wawasan serta pemikiran yang kurang luas akibat kurang membaca membuat tidak memahami hakikat perubahan. Itulah sebabnya mereka begitu pesimis dan mengganggap semua itu sama saja. Semua inovasi serta perubahan yang mungkin sedang terjadi dianggap percuma. Untuk apa? Ya mungkin saja mereka belum mengetahui tentang Thomas Alfa Edison yang mencoba membuat inovasi berupa lampu pijar yang mana ia sukses dalam percobaan ke-999.

Si kontra juga tak jauh berbeda. Kurangnya membaca membuat mereka yang telah ada dalam kondisi nyaman ini malas berubah sehingga mereka jadi kurang berkembang dan tak dapat menjadi orang yang maju. Di salah satu kabupaten di daerah saya, ada sebuah daerah tua yang selalu kalah berkembang dibanding dengan lain yang baru muncul. Kenapa? Karena mereka ini diisi oleh kebanyak orang tua yang merasa sudah nyaman dengan kondisi mereka. Mereka ini cenderung menolak adanya perubahan dan terbawa dengan kebiasaan-kebiasaan lama yang amat sulit untuk diubah sehingga sulit berkembang. Mereka mungkin juga tidak mengetahui bahwa Bill Gates, orang terkaya di dunia, harus rela melepas kuliahnya di Harvard demi mewujudkan mimpinya untuk membawa perubahan dalam dunia komputer, menyediakan komputer di setiap rumah di dunia.

Disinilah pentingnya membaca. Coba kita studi banding sedikit ke Negara maju seperti Jepang, yang terkenal dengan teknologinya. Kebanyakan orang di Jepang senantiasa memanfaatkan waktunya dalam perjalanan, seperti di kereta atau bus, dengan membaca buku. Di Indonesia? Kebanyakan mereka yang ada di perjalanan senantiasa membuka media sosial, melihat dan memposting hal-hal yang kurang berguna.

Di era kebebasan ini dimana opini banyak bertebaran bagai hujan yang tak pernah reda, kebiasaan membaca amatlah diperlukan. Membaca yang saya maksud tentu bukan membaca status di medsos atau sekedar berseluncur di internet. Tetapi, membaca buku yang memang jelas penulisnya. Karena buku, mau bagaimanapun, adalah sumber valid yang diakui secara ilmiah. Minimal kita tahu siapa yang mengarang dan bertanggungjawab atas tulisan dalam buku tersebut meski hanya sekedar novel fiksi. Dibandingkan medsos, yang mana satu postingan saja tidak tahu dari mana asalnya, siapa yang bertanggungjawab.

Mereka yang banyak membaca tentu akan memiliki wawasan yang lebih banyak yang dpaat membuka pikiran kita. Di era tanpa batas ini, banyak orang yang hanya sekedar bicara tanpa ada tindakan dari apa yang dibicarakannya itu. Sebatas omdo (Omongan doang). Dan ini adalah ciri khusus dari orang yang kurang membaca atau membaca sekenanya saja. Sedikit saja ilmu yang mereka punya tetapi bicaranya sudah seperti pakar. Banyak kan kita menemukan orang yang seperti ini?

Lewat tulisan ini, sejatinya saya hanya ingin memotivasi kembali diri saya dan mengajak teman-teman semua untuk lebih dekat dengan buku dan membiasakan diri untuk membaca. Janganlah kita menjadi seperti tong yang kosong, yang ketika dipukul berbunyi nyaring menandakan orang yang banyak berbicara tetapi ilmunya amat sedikit bahkan hampir tidak ada. Jangan pula kita menjadi orang yang hanya bisa protes, berkomentar, berkoar-koar di medsos tanpa mau berbuat apapun. Bisanya hanya mengeluh sana sini tanpa punya keinginan sedikitpun untuk membawa perubahan. Mari budayakan membaca agar kita menjadi seperti padi yang senantiasa merunduk karena banyak isinya. Isi yang membuat kita sosok yang tidak hanya sekedar berbicara, tetapi juga berbuat dan mencoba membawa perubahan. Talk more Do more. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline