Lihat ke Halaman Asli

Sidqon Hadi

Pendidik dan Pembelajar Politik

Berkomunikasilah, Agar Tak Sekadar Mencaci Kegelapan

Diperbarui: 31 Agustus 2024   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Freepik

Panjang umur orang-orang baik yang selalu mengupayakan kebaikannya agar memperbaiki sekitar.
 
Di sebuah kantin kantor, sekumpulan pegawai sedang asyik membicarakan pimpinannya. Menggosip dan mngulik aib sang bos. Sesekali sambil memaki, meluapkan akumulasi kemarahannya atas perlakuan pimpinan kantor selama ini.

"Kok bisa ya kita punya bos kaya dia. Hobinya cuma kasih beban ke anak buah, giiran kerjaan ada masalah dikit aja bisanya maah-marah sama ngancem bawahan," kata salah satu pegawai.

"Iya, padahal kadang kesalahannya karena kontribusi dia juga. Kemarin aku jadi korbannya, pas tak kasih masukan malah marah-marah. Harusnya kalau dia gak mampu introspeksi diri, minimal sedikit empati lah ke kita, jangan cuma marah tanpa mau tahu masalah," timpal yang lainnya.

Aku yang sejak tadi duduk tepat di meja belakang mereka pun cuma bisa diam, sambil menyimak keresahan dan umpatan mereka. Meski baru sebulan bekerja di kantor ini, aku juga sudah cukup memahami situasinya.

Bedanya, aku malas "ngrasani" si bos setiap Waktu. Bukan karena tak peduli apalagi menikmati situasi kantor yang begitu, tapi lebih karena enggan berekstase meluapkan kekesalahan dengan nikmatnya. Toh tidak menyelesaikan masalah juga kan?

***
Oiya, bosku ini orangnya memang agak lain. Kalau menurut kesimpulanku sih, dia tipe orang yang belum selesai dengan keruwetan dirinya. Seolah senang diskusi, tapi sebetulnya asyik dengan ide dan pendapatnya sendiri. Kurang mau tahu masalah kerjaan, tapi bisanya mengancam ini dan itu.

Ya lebih mirip krisis kepemimpinan dalam dirinya. Sejak awal aku curiga kalau pimpinanku ini tipe suami yang kalah sama istrinya di rumah, dan ternyata teman-teman kantor sudah tahu semua.

Tentang kegalakan istrinya yang mengalahkan karakter kelelakiannya, tentang si bos yang biasa mengerjakan tugas rumah, seperti nyuci, nyapu, dan ngepel.

Oiya, beberapa kali si bos menghentikan rapat di kantor karena ditelpon istrinya supaya cepat pulang. Kejadian-kerjadian semacam ini pun dengan cepat dilahap jadi bahan gosip yang nikmat.

Nah, dari kejadian ini, aku semakin yakin kalau si bos ini kalah sama istri dan anaknya. Nalurinya sebagai pemimpin di rumah tangga seperti direpresi, diendapkan oleh anak dan istri. Dampanya, ia dia melampiaskannya di kantor. Jadi, apa yang dilakukannya ke bawahannya lebih sebagai pelampiasan, seolah ingin menegaskan kalau dirinya adalah pemimpin, sesuatu yang tidak ia dapatkan di rumah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline