Selamat siang.
Saya boleh sedikit berbangga sebagai orang Indonesia penikmat Sepakbola. Karena saat ini kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia sudah semakin baik dan maju, terutama tentu kemakmuran social ekonomi.
Medio 2013 sampai awal 2014 ini, masyarakat Indonesia menjadi mangsa empuk para pemilik modal. Seperti kita ketahui, bahwa sepakbola dulunya adalah hiburan rakyat kecil ditengah-tengah himpitan ekonomi. Ada kegembiraan, amarah, sorakan, saling ledek dan banyak wujud emosi terekspresi di sana. Saya ingat saat Liga Italia dikenalkan oleh RCTI dan Liga Inggris ditayangkan SCTV. Lalu diikuti oleh TV lain yang menyiarkan liga-liga lain, seperti Liga Perancis, Belanda, Jerman, bahkan Brazil. Ini tentu pecinta sepakbola Indonesia juga masih dimanjakan oleh tarian anak-anak local lewat ANTV. Minat besar masyarakat sepakbola Indonesia memang bukan hanya milik para pencari hiburan, tapi juga para penggila judi. Naluri para kapitalis dengan mudah melihat peluang besar, terutama para penjudi yang semakin subur di negeri yang berdasar Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar sila-sila selanjutnya.
Saya boleh sedikit berbangga sebagai orang Indonesia penikmat Sepakbola. Betapa tidak, para kapitalis memandang ekonomi Indonesia sudah semakin baik. Sepakbola yang dulunya domain pecinta bola dari berbagai kalangan, kini diperjual-belikan. Untuk menonton liga-liga Eropa, saya dituntut menyediakan decoder TV berbayar. Kini, anak-anak petani, nelayan, para tukang angon kambing kehilangan kesempatan mempelajari tehnik para pemain dunia dengan gratis, karena sulit untuk menonton mereka lagi. Apalagi anak-anak Papua, untuk menonton aksi pemain di Primier League atau La Liga, mereka harus melotot sampai pukul 02.00 dinihari. Itupun kalau kebetulan kebagian jadwal tim bagus. Lebih ironis, ketika pemegang hak siar ISL diumumkan, termasuk ketika dirilis jadwal pertandingan dalam siaran langsung, banyak orang harus gigit jari. Ternyata untuk menonton sepakbola sendiri juga sudah mulai tidak gratis.
Sisi positifnya jelas, saat ini, dengan kepengurusan PSSI bin KPSI sepakbola sudah dipercaya dan menarik investor, bisa di jual. Dari sisi ini seharusnya tidak ada lagi masalah klasik yang menghantui sepakbola dan cabor lain: dana.
Sebagai anak bangsa, entah saya harus jingkrak-jingkrak, diam dan pasrah atau harus berbicara (spt di media ini) meskipun sadar bahwa pembacanya hanya kalangan terbatas. Apapun itu, sepakbola bukan lagi domain penikmatnya, namun menjadi bisnis yang “menjanjikan”.