Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, sebagaimana dilansir dari laman Kompas.com (2020) melalui artikel berjudul "Mahfud Ungkap 2 Ancaman Kedaulatan Indonesia Berdasarkan Analisis Prabowo", menyebutkan bahwa terdapat dua ancaman kedaulatan teritorial yang dihadapi Republik Indonesia, yaitu ancaman di Laut Natuna Utara atau Laut China Selatan (LCS) dan isu Papua merdeka. Sejauh ini, konflik LCS menjadi sorotan karena eskalasinya dapat menjadi ancaman serius bagi Indonesia dan negara sekitarnya. Hal itu tidak terlepas dari "hartu karun" dan kepentingan strategis berbagai negara dalam penguasaan LCS, mulai dari potensi keamanan dan pertahanan, ekonomi, geopolitik, sosial-budaya, geografi, dan ideologi.
Potensi konflik di LCS akan menjadi sandungan bagi kedaulatan laut Indonesia dan tantangan bagi terwujudnya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Tentu. Bagaimana pun, konflik di LCS dapat menjadi ancaman kedaulatan sepenuhnya, bukan semata Laut Natuna Utara Indonesia. Pada saat yang sama, cita-cita Indonesia untuk menjadi Poros Maritim Dunia termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021-2025, yaitu suatu visi Indonesia untuk menjadi sebuah negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, kuat, serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional. Maka dari itu, singgungan di LCS ini tidak boleh dipandang sepele karena menyangkut geopolitik dan wibawa bangsa. Sehingga, perlu adanya pemahaman akan dampak dan potensi konflik yang terjadi sehingga dapat meminimalisir kerugian yang ada serta menyusun rencana strategis dan efektif sebagai solusi menangani persoalan tersebut.
Perkembangan Laut China Selatan
Pada tahun 1947, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mempublikasikan konsep petanya dengan tajuk The Nine-Dash Line atau Sembilan Garis Terputus. Publikasi ini ditujukan dalam rangka penegasan batas teritori maritim dari Tiongkok mencakup LCS sekaligus justifikasi atas klaimnya. Konsepsi ini akan menjadi biang keladi keributan dan konflik demarkasi dengan negara-negara pengklaim yang sebelumnya telah sah berdasarkan hukum internasional, seperti Indonesia, Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam. Dalam peta versi Sembilan Garis Terputus itu, RRT membenarkan tindakannya dalam mengambil alih Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan pulau karang di LCS karena klaim historisnya yang menilai bahwa kawasan tersebut adalah milik Tiongkok yang telah digunakan selama ratusan tahun. Klaim tidak berdasar RRT ini jelas tidak memiliki payung hukum yang tegas dan dapat dibenarkan. Sehingga, tindakan ini dipandang sebagai pencaplokan ilegal dan bagi pemilik sah akan memandangnya sebagai pelanggaran kedaulatan. Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS), yang juga telah diratifikasi oleh RRC pada tahun 1982, tidak mengenal hak negara tertentu untuk mengklaim kedaulatan atas sebagian atau keseluruhan LCS (Johannes, 2023).
Lebih lanjut, tindakan Tiongkok dalam membangun pulau buatan di sekitar Kepulauan Spratly atau Kepulauan Nansha justru meningkatkan kecurigaan dan kekhawatiran beberapa negara atas tindakannya yang secara terang-terangan seolah menunjukan dirinya sebagai "pemilik sah". Kepulauan ini sendiri adalah gugusan kepulauan di LCS, terdiri dari pulau, pulau kecil, ngarai, dan ratusan terumbu karang. Terletak di lepas pantai Filipina, Malaysia, dan Vietnam, kepulauan ini dinamakan Spratly dari seorang kapten pemburu paus Inggris di abad ke-19 bernama Richard Spratly. Kendati pulau ini punya luas kurang dari 2 kilometer persegi, tapi kepulauannya sangat strategis karena letak bagi jalur pelayaran, daerah penangkapan ikan, cadangan minyak dan gas alam, dan lainnya. Tidak heran, alasan ekonomi dan ketahanan nasional menjadi faktor Tiongkok untuk mengklaimnya, sedangkan beberapa negara mempertahankannya atas klaim sahnya menurut hukum internasional, Dengan segera, beberapa negara seperti Tiongkok, Malaysia, Taiwan, Filipina, dan Vietnam untuk menempatkan militernya di area strategis ini guna mematenkan kepemilikannya yang secara efektif ditopang dengan kekuatan militer. Namun, di antara semua itu, Tiongkok lah negara yang berpotensi kuat untuk dapat mendominasi kawasan ini hingga akhirnya secara utuh dapat memperkuat klaimnya. Penuntut atau negara yang paling signifikan mengajukan klaim adalah China terhadap kedaulatan hampir di seluruh wilayah LCS (Johannes, 2023).
Pada tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional memutuskan bahwa Filipina menang di semua gugatan terhadap klaim LCS atas Tiongkok yang didasarkan pada UNCLOS. Kendati begitu, nampaknya Tiongkok tidak menerima hasil keputusan otoritas tersebut. Alhasil, Tiongkok meningkatkan intensitas negaranya di LCS dengan membangun pelabuhan, instalasi militer, landasan terbang, dll. Bahkan, dilansir dari laman Global Conflict Tracker (2024), diketahui bahwa terkhusus di Pulau Paracel dan Spratly, terdapat 20 dan 7 pos pengawasan, termasuk juga di salah satu gugusannya di Pulau Woody, misalnya, Tiongkok menempatkan jet tempur, misil penjelajah, dan sistem radar.
Kondisi menguntungkan ini tidak disukai oleh Amerika Serikat. Sebagai dominator utama dunia, Amerika nampaknya tidak mau ada matahari kembar dalam percaturan politik dunia. Maka, langkah untuk membendung Tiongkok di kawasan ini adalah melalui pembangunan kepentingan akan jaminan kebebasan navigasi dan pengamanan komunikasi jalur laut atau Securing Sea Lines of Communication (SLOCs). Pada posisi ini, Amerika Serikat jelas akan mendukung upaya "keamanan" tersebut sebagai usaha untuk memastikan akses bebas dan terbuka di LCS, dan menilai segala upaya yang dilakukan Tiongkok di wilayah jalur laut ini sebagai upaya instabilisasi. Seperti biasa, menempatkan Amerika Serikat sebagai pahlawan yang membendung pengaruh keotoritarianan Xi Jin Ping. Tidak heran bila Amerika Serikat dengan tegas menentang klaim apapun Tiongkok terhadap LCS, termasuk upaya reklamasi dan militerisasi di kawasan ini. Tidak hanya itu, Amerika Serikat membuat beberapa kerja sama dengan beberapa negara, seperti Filipina guna menghambat dominasi Tiongkok di kawasan ini, di mana hal itu mendorong lebih banyak negara dalam pusaran konflik LCS. Dilansir dari laman Global Conflict Tracker (2024), dijelaskan bahwa Washington's Defense Treaty dengan Filipina dapat menarik Amerika Serikat ke dalam potensi konflik Tiongkok-Filipina, khususnya terkait perebutan cadangan gas alam dan ikan melimpah. Bahkan, kini Jepang juga turut serta dalam memperkeruh situasi ini dengan menjual peralatan militer ke Filipina dan Vietnam dalam memperkuat kapasitas keamanan maritimnya, yang secara tidak langsung menahan dominasi Tiongkok di LCS. Kini, Tiongkok akan menghadapi banyak musuh demi mendapatkan LCS. Mungkin, teori efek domino masih berlaku untuk menggambarkan kondisi ini, mengingat persoalan ini membuat Tiongkok menjadi negara yang terkucil di kawasan Asia Timur dan Tenggara.
Cemas-cemas Indonesia di Laut China Selatan
Indonesia adalah negara besar dengan luas lautannya mencapai 3.257.357 km2, sebagaimana telah ditentukan oleh hasil Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay. Dari besarnya luas lautan Indonesia, Laut Natuna menyumbang 262.197,07 km2. Hal ini memberikan keuntungan besar terutama dalam ketersediaan sumber daya lautnya. Potensi itu dikukuhkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan di tahun 2017, sebagaimana dikutip dari artikel berjudul "The Great Potential of the Natuna Sea" pada laman ForestDigest.com (2022), yang menyebutkan bahwa potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Nomor 711 (WPP-RI 711) yakni di sekitar Laut Natuna dan Laut Natuna Utara---berbatasan langsung dengan Laut China Selatan---sebesar 767.126 ton atau terdiri dari ikan pelagis besar sebanyak 185.855 ton, ikan pelagis kecil 330.284 ton, ikan demersal 131.070 ton, ikan karang konsumsi 20.625 ton, udang penaeid 62.342 ton, dan lobster 1.421 ton. Meskipun terus mengalami penurunan dalam penangkapan, kepemilikan laut ini jelas masih memberikan keuntungan sekaligus menguji komitmen bangsa dalam menjaga kedaulatannya.