Lihat ke Halaman Asli

Sidik Dwip

Bekas tangan bertinta pikiran

Ekosistem yang Sekarat

Diperbarui: 29 Mei 2019   05:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pada situasi ini saya merasa bodoh, hampir lima tahun saya menginjak di perusahaan pendidikan, yang didalamnya terdapat banyak sekali ekosistem kartakter yang heterogenitas, karakter itu membuat saya terbawa pada belenggu pemikiran, tiang ini banyak sekali, besar kecil tinggi dan pendek, penuh warna, bahkan ada warna yang warna itu belum disepakati namanya. Pait manis, asam gurih, renyah lembut, kering basah dan masih banyak lagi, pertanyaan untuk diriku sendiri, apakah aku mampu melihat dan merasakan itu semua ?

Kepada siapa saya membawa kata salah ini? Atau bahkan saya yang salah melihat sesuatu? Atau sesuatu itu yang salah karna memang saya tak pantas untuk mencari pembenaran. Seperti tubuh manusia, setiap organ harus saling bekerja sesuai fungsinya, kalaupun tidak berfungsi sesuai perannya akan terjadi disfungsi dan tak jarang rasa sakit itu bisa diterjemah oleh bibir atau gestur tubuh ini. Mungkin saja beberapa organ pada tubuhku ini merasakan anomali, sesekali kupingku terasa peka sekali akan frenkuensi tertentu, mendengar suara suara kebencian, pengagungan akan suatu hal, bahkan buruknya telingaku mendengar kesunyian hati, tetapi matanya menetes air, dan kepala menunduk.

Ketika melihat sesutu, panca indra kita akan terbatas pada prespektif terntentu, dimana kita berdiri dan kearah mana kita akan melihat, tidak akan mungkin mata ini bisa melihat sesuatu yang ada dibelakang bahunya, terkecuali adanya alat bantu. Namun mungkin hal ini yang saya rasakan, brand yang bernama manusia dan berlebelkan mahasiswa ini sukar sekali bicara tidak mampu akan sesuatu hal, dan gemar sekali menjadi gentong yang kalau ditepuk lantunan bunyinya terdengar nyaring. Lalu apa arti manusia dalam dirimu ? lalu apa arti mahasiswa dalam dirimu?

Bahkan tiga tahun terakhir malam ku kini berubah seratus delapan puluh derajat, seperti berkontemplasi pada situasi yang sebernarnya tidak berkaitan langsung dengan diriku, mendengar sesuatu yang sebenernya tidak sepatutnya saya dengar, sialnya ketika hampir setiap hari saya mendengar suara suara kesedihan, suara suara kegembiaraan, entah jenis gembira yang seperti apa, saya tidak faham, pikiranku terbatas menerjemahkan sesuatu hal yang kaitanya tentang kebencian, jadi saya tidak faham akan itu. Mungkin, karena keterbasaan akal untuk menjemput nalar, ini membuat kompleksitas masalah tentang bagaimana akal dan nalar ini digunkan, itupun belum lengkap tanpa adanya nurani.

Ekosistem ini harus segera pemugaran, manusia, mahasiswa dan perusahaan pendidikan ini serta lembaga lembaga terkait harus sadar akan hal hal yang substansial dan fundamental, ini rantai yang semuanya berkaitan satu sama lain, jika rusak satu maka rantai itu tidak akan berfungsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline