Lihat ke Halaman Asli

Jangan Lupakan Gunung

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surat teruntuk sahabat-sahabat tercinta yang selalu menemani tiap langkah yang membutuhkan gula jawa penambah tenaga, cokelat pasta agar rasa manisnya merangsang canda, berbotol-botol air putih agar dahaga berubah menjadi tawa, berbungkus-bungkus mie instan yang menjalar-jalar di perut juga berhelai-helai pembungkus tubuh agar warna biru di bibir berganti kecupan hangat.
Surat untuk mengingatkan kembali tiap mata yang menatap ke atas, lalu melihat keindahan di lautan hijau, berkelap-kelip saat malam tiba.

Surat teruntuk sahabat tercinta yang pantang membunuh seekir nyamuk-nyamuk yang seliweran, tapi dengan rela membunuh banyak waktu demi sebuah harapan. Kita yang memetik keindahan bunga-bungaan dalam jepretan gambar kamera, kita yang tak rela memetik mereka untuk diri kita sendiri. Surat untuk kita yang mengantongi sampah-sampah dan hanya menyisakan jejak di belakang langkah penuh harap. Kita yang enggan menjadikan alam sebagai percobaan yang merusak kehidupan, memutus rantai harapan.

Surat teruntuk sahabat tercinta yang menunggu saat seorang dari barisan lelah, mengulurkan tangan dan senyuman saat membutuhkan ketegaran untuk kembali berdiri. Kita yang tak pernah setia pada satu gunung, tapi selalu setia untuk mendukung anggota barisan untuk memanfaatkan tenaga hingga maksimal. Semaksimal mungkin walaupun tak pernah mencapai puncak.

Surat teruntuk sahabat tercinta, satu pesan yang selalu saja ingin kukatakan: Jangan lupakan gunung. Jangan lupakan saat kita masih memandang gunung dari kejauhan: Harapan. Harapan, ketika kita melajukan roda-roda kehidupan mendekati puncaknya yang tinggi dan beku. Sekali lagi menatap harapan saat kita berada di lembah, sedikit lebih tinggi dari kehidupan di tengah hiruk pikuk perkotaan. Harapan itu lah yang membawa kaki-kaki ini melangkah tak kenal lelah. Hati ini berharap agar puncak adalah tempat yang tepat untuk melepas lelah. Walaupun kenyataanya tak setiap harapan, bahkan belum satu pun harapan, akan bisa dicapai hanya dengan tekad.

Surat teruntuk sahabat tercinta, kita bergandengan tangan menuju sebuah harapan, bersama-sama menjaga pengharapan. Sekalipun belum mencapai puncak, kita tetap menjaga terang harapan tersebut bersama-sama, mengingatkan bahwa harapan itu pernah ada dan selalu menanti untuk diwujudkan. Kita menuruni bukit harapan bukan untuk melepaskannya pergi, tapi lebih karena kita tahu bahwa mereka selalu menanti untuk didaki. Kita siapkan hati agar tidak lagi terlanjur beku saat lelah merajai.
Surat teruntuk sahabat tercinta, kalaupun kita mencapai puncak harapan, aku sudah membayangkan bagaimana rasanya. Lautan putih mengepul, warna langit berganti layaknya warna pelangi. Saat itulah, kita adalah bagian dari harapan. Orang-orang di tengah kota mengucap doa saat menatap kita dari kejauhan sekalipun tak sedikitpun titik mampu menggambarkan keberadaan kita di tempat tersebut. Kita adalah bagian dari harapan yang diharapkan mampu turun dan menyebarkan harapan. Mereka selalu mengharap kedatangan kita.

Surat teruntuk sahabat tercinta, kita bisa memandang keindahan dunia saat kita menjadi bagian dari harapan. Kita melepas harap karena merasa bahwa kita sudah mencapai harapan. Lautan hijau di bawah, kerlap-kerlip kehidupan saat malam tiba adalah keindahan. Mengerikan, karena sebelumnya kita tahu bahwa di balik keindahan tersebut terjadi banyak ketidakadilan, penindasan dan kekerasan. Aku tahu sebabnya mengapa mereka menanti kita membagi sedikit harapan yang sudah kita capai: di puncak harapan itu mereka bisa melupakan segalanya. Melupakan segala kekerasan dan penindasan yang dibalut hijau dedaunan dan kerlap-kerlip kehidupan, tampak indah. Begitulah adanya dinamika kehidupan yang sejenak kita tinggalkan untuk mencapai harapan.

Surat teruntuk sahabat tercinta, mungkin aku hanya meracau karena aku belum pernah menyaksikan sendiri jiwaku yang sedang menikmati keindahan saat mencapai puncak harapan. Tapi, sampai atau tidak di puncak harapan, kita pasti merindukan dinamika yang sudah sejenak kita tinggalkan. Kita akhirnya turun, dengan harapan yang sudah terlanjur penuh saat pencapaian atau harapan yang sudah terlanjur penuh saat kita berapi-api tapi tak mencapai puncak yang sudah dinanti. Apapun itu, kita pernah melangkahkan kaki dan mencoba harapan di tumit-tumit hati. Puas, aku selalu puas karena keikhlasan yang selalu mendampingi barisan kita melaju menuju harapan.

Surat teruntuk sahabat tercinta, kita pun akhirnya harus turun meninggalkan harapan. Sekali lagi, bukan karena harapan itu sudah hilang dan tak lagi bisa didaki, melainkan karena harapan itu adalah hal paling setia yang selalu menunggu untuk kita daki: untuk pertama kali atau kesekian kali. Saat kita kembali ke kehidupan, kita berbagi banyak harapan dengan orang-orang yang berlindung di balik keindahan. Mereka yang tak terlihat oleh kerlap-kerlip kehidupan. Kita menceritakan bagaimana indahnya berjuang mencapai harapan, pun indahnya puncak harapan. Kita membagi secuil harapan itu sendiri, sekalipun kita belum pernah mencapai puncaknya. Setidaknya, dengan begitu mereka akan berusaha mencapai harapan dan suatu hari mereka akan menjadi bagian dari harapan. Indah kubayangkan ketika semua orang telah menjadi bagian dari harapan. Sedikit demi sedikit penindasan nyata yang bersembunyi di balik keindahan akan sirna. Ketika kita mencapai puncak harapan lagi, mungkin kita akan merasa tenang berada di sana.

Surat teruntuk sahabat tercinta, jangan lupakan gunung. Mungkin, gunung adalah puncak harapan tempat kita akan menutup mata. Jangan lupakan gunung yang telah memberikan kita harapan, jangan lupakan gunung yang selalu menanti setiap orang yang ingin mendaki harapan.

Surat teruntuk sahabat tercinta, aku ingin mencapai harapan dan menatap keindahan dari puncak harapan. Melepas sejenak segala kekacauan yang melanda pikiran saat kita berjalan di tengah gemerlap kehidupan. Sebelum kita berpisah, mendaki puncak-puncak harapan baru, tak ada salahnya sekali lagi kita menggendong beban bersama dalam sebuah barisan. Masihkah mungkin?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline