Lihat ke Halaman Asli

Yai Baelah

(Advokat Sibawaihi)

PPKM Darurat dan Praktik Otoritarian

Diperbarui: 26 Juli 2021   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari ke depan ini PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang sangat melelahkan dan memberatkan itu kabarnya akan segera  dilonggarkan. Meskipun kita belum tahu pasti bagaimana kelanjutannya, akan tetapi Presiden dalam pidatonya (20/7) menerangkan bahwa pada tanggal 26 Juli 2021 nanti akan mulai dilakukan pembukaan secara bertahap jika tren kasus terus mengalami penurunan.

Sebelumnya Pemerintah telah memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat dari tanggal 21 hingga tanggal 25 Juli 2021. Aturan kebijakan PPKM yang ketat guna menekan penyebaran COVID-19 ini tadinya telah diterapkan untuk wilayah Jawa dan Bali selama 3 minggu yakni dari tanggal 3 sampai tanggal 20 Juli 2021.

Sebagaimana kita ketahui, pada awalnya Pemerintah memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dalam upayanya membatasi kegiatan masyarakat guna mengurangi penularan corona virus desease. Kebijakan PSBB ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Kekarantinan Kesehatan (UU No.6/2018). Namun entah mengapa pada periode selanjutnya Pemerintah tidak lagi menerapkan PSBB tadi akan tetapi menggunakan nomenklatur PPKM yang belakangan telah pula mengalami beberapa kali perubahan nama sifat dimulai dengan sebutan PPKM Mikro, lalu PPKM Darurat dan kemudian terakhir istilah yang digunakan adalah PPKM Level 4.

Dampak diterapkannya kebijakan PPKM ini tidak hanya telah menambah beban penderitaan rakyat yang tadinya cukup terancam hidupnya oleh COVID-19 tapi kini juga terancam kehidupannya karena telah mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari dari akibat dilakukannya pembatasan-pembatasan kegiatan masyarakat oleh pemerintah tersebut.

Lebih dari itu, aturan kebijakan berkenaan PPKM ini dalam pandangan para ahli hukum cenderung bernuansa otoritarianisme yang tidak pada tempatnya dipraktikkan dalam negara yang menganut paham demokrasi sehingga diharapkan kedepannya nanti pemerintah tidak lagi menerapkan PPKM ini dan selanjutnya dapat menetapkan aturan kebijakan lain apapun namanya asalkan semua aturan itu dibuat berdasarkan system hukum yang sudah ada  sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

Tulisan ini akan menyodorkan beberapa fakta hukum terkait dikeluarkannya keputusan PPKM Darurat, kemudian mencoba untuk mengkajinya dari perspektif hukum adminstrasi pemerintahan dihubungkan dengan norma pembentukan peraturan perundang-udangan RI sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 dan selanjutnya dikonstrusikan menurut model penyelenggaraan kekuasaan negara yang terpusat/terpimpin (otoritarian) yang merupakan salah satu ideologi politik yang dianut oleh pemerintahan di beberapa negara di dunia.

Kebijakan Penanggulangan Penyebaran COVID-19

Pada awalnya, kebijakan penanggulangan COVID-19 ini tampak konsisten mempedomani aturan main yang terdapat di dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ini ditandai dengan kebijakan pemerintah yang memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan PSBB ini secara normatif menggunakan jalur perundang-undangan Kekarantinaan Kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan terlebih dahulu menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 yang kemudian diikuti dengan penetapan menteri kesehatan. Penetapan pemberlakuan PSBB ini, di samping pilihan model penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan lainnya (Karantina Rumah, Karantina Wilayah atau Karantina Rumah Sakit) adalah merupakan perintah dari undang-undang yang memang menghendaki agar pengaturan kriteria dan pelaksanaan lebih lanjut menyangkut penyelengaraan Kekarantinaan Kesehatan itu diatur dalam sebuah regulasi berupa Peraturan Pemerintah sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan mengikat secara umum. Berangkat dari regulasi yang sedemikian tadi maka selanjutnya setiap pembatasan terhadap kegiatan masyarakat di tempat berlangsungnya PSBB itu boleh dikatakan sebagai sebuah kebijakan yang sah atau legal.

Namun ternyata kemudian dalam masa dan fase-fase berikutnya, Pemerintah dalam upayanya menanggulangi penyebaran COVID-19 telah melenceng dari tuntunan regulasi pokok semula (Undang-undang No.6 Tahun 2018). Belakangan kebijakan penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan semacam PSBB tidak lagi dilakukan akan tetapi Pemerintah justru membuat aturan kebijakan baru yang tidak jelas payung hukumnya yakni dengan menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang asing terdengar karena mekanisme dan nomenklatur yang demikian sama sekali tidak dikenal dan tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan RI.

PPKM (Darurat)

Keputusan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat telah disampaikan secara lisan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 1 Juli 2021 lalu melalui pidatonya yang diunggah di laman YouTube Sekretariat Presiden. Sang pemimpin negeri mengumumkan akan dimulainya pemberlakuan PPKM Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali dari tanggal 3 sampai 20 Juli 2021. Diterangkan bahwa keputusan yang diambilnya itu setelah mendapat masukan dari berbagai pihak diantaranya para menteri dan ahli kesehatan, juga masukan dari para Kepala Daerah. Presiden beralasan bahwa situasi berkembang sangat cepatnya varian baru COVID-19 beberapa hari terakhir ini mengharuskan dirinya untuk mengambil langkah-langkah yang lebih tegas guna membendung penyebaran COVID-19.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline