Pemimpin atau memimpin, bukanlah soal sipil atau militer. Ini adalah soal karakter, berkenaan dengan watak atau pembawaan seseorang yang sedari awal memang memiliki bakat memimpin.
Terlepas dari soal bakat membakat ini, pun sipil, pada akhirnya seorang pemimpin, in casu seorang kepala negara mau tidak mau mestilah ia suatu waktu berpikir layaknya militer karena posisi kepala negara itu nantinya akan menempatkan dirinya sekaligus sebagai pemimpin militer, pemimpin tertinggi angkatan perang. Bukankah yang memerintahkan perang itu adalah kepala negara (presiden)?.
Kebijakan strategis soal perang, juga mestilah yang memutuskan adalah sang presiden. Kalian lihat bagaimana begitu besarnya peranan presiden AS dalam soal militer seperti tergambar dalam film-film Hollywood?.
So? Jangan terfokus kepada perdebatan sipil-militer, tapi amatilah karakter calon pemimpin kita. Apakah ia bisa memimpin negeri ini dengan segala persoalannya, persoalan sipil, juga persoalan militer. Itu semua diperlukan.
Dan memang dalam perjalanan bangsa ini, juga bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, persoalan yang datang tak bisa dipilih-pilih. Mestilah siap dalam segala situasi dan tantangan yang datang.
Dus, tidaklah tepat kalau sekarang ini, di jaman yang katanya jaman industri 4.0, tak lagi diperlukan model kepemimpinan yang mengerti dan mampu menjalankan peran-peran militer.
Militer dalam arti fisik tentunya, pasukan beserta peralatannya (alutsita). Tapi, ini tidak berarti pemimpinnya mesti berasal dari kalangan militer.
Coba ditelaah ke belakang. Soekarno, kepala negara kita yang pertama, ia adalah seorang sipil tulen. Bahkan kabarnya insinyur teknik sipil.
Tapi, tak bisa dipungkiri, dengan modal karakternya yang tegas bercampur cerdas, bahkan ia beberapa kali memerintahkan perang dan mampu mengendalikan angkatan perang.
Lalu kita lihat Soeharto, kepala negara berikutnya, seorang militer tulen. Jenderal yang pandai menampilkan dirinya sebagai sipil dengan raut muka yang selalu tersenyum (The Smilling General).