Sebelum menilai pantas atau tidaknya harga BBM dinaikan (mengurangi anggaran subsidi BBM), tentunya harus dipahami pula aliran NERACA MASSA PEMANFAATAN PRODUKSI MINYAK MENTAH INDONESIA, YANG SUDAH TERMASUK DALAM NEGARA NETT PENGIMPOR MINYAK.
Indonesia menggunakan sistem production sharing contractor (PSC) dalam memproduksi minyak dari dalam perut bumi. Secara garis besar, seluruh fasilitas produksi minyak & gas (beserta cadangannya) yang ada dalam wilayah teritorial Indonesia baik di daratan maupun lepas pantai sejatinya adalah tetap menjadi milik negara Indonesia. Hal ini merupakan hal yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem konsesi. Pada sistem konsesi, perusahaan migas membeli suatu aset hidrokarbon dari negara, mempunyai hak milik atas fasilitas produksi hidrokarbon selama kontrak produksi, mempunyai hak penuh untuk memasarkan produksinya dan berkewajiban membayar royalti dalam persentase tertentu dari hasil penjualannya (dalam bentuk tunai) kepada negara tempat aset tersebut berada (Partowidagdo, 2010). Negara tidak memiliki kewajiban untuk mengganti biaya produksi dan investasi perusahaan untuk membangun fasilitas karena perusahaan sudah membeli aset tersebut, namun negara juga tidak berdaulat akan pemanfaatan minyak dan gas dari perut bumi-nya sendiri. Hal pertama yang perlu diketahui adalah Indonesia tidak menggunakan sistem konsesi, sehingga tidak ada sedikitpun minyak ataupun gas yang dimiliki oleh Chevron, ExxonMobil, Conoco-Phillips, BP, Petrochina, dll, termasuk Pertamina.
Kemudian, dalam usaha untuk memproduksi minyak dan gas secara komersial, negara yang diwakili oleh BPMIGAS menunjuk perusahaan-perusahaan baik lokal maupun multinasional sebagai kontraktor produksi. Jika dapat diibaratkan, maka negara adalah pemilik sawah sedangkan para perusahaan minyak dan gas adalah petani garapan. Sistem PSC bukan merupakan sistem baru di Indonesia, namun sepanjang keberjalanannya sejak 1965, telah ada 3 generasi kontrak PSC. Perubahan terjadi pada banyak aspek mencakup batasan cost recovery, % bagi hasil, metode depresiasi, kuota dan harga domestic market obligation (DMO), biaya abandonment, paket insentif untuk investasi lapangan marjinal, dan sebagainya. Perubahan-perubahan tersebut merupakan adaptasi dari dinamika ekonomi migas global dan juga kebutuhan minyak nasional. Tarik-ulur antara memaksimalkan keuntungan bagi negara dan menumbuhkan iklim investasi MIGAS merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam keberjalanannya.
PSC(production sharing contractor) cukup banyak diaplikasikan pada negara berkembang dengan keterbatasan modal dan teknologi. Keuntungan dari sistem PSC adalah cadangan migas tetap milik negara dan juga membebaskan negara dari resiko investasi awal eksplorasi MIGAS yang sangat padat modal dengan success ratio yang tergolong kecil. Sebagai tolak ukur, investasi yang dibutuhkan untuk melakukan eksplorasi satu sumur (termasuk pengeboran eksplorasi) pada wilayah laut dalam adalah US$ 100-150 Juta, dengan success ratio beragam mulai hingga 1/4 – 1/9. Dengan sistem PSC seluruh biaya survey dan pengeboran menjadi investasi yang menjadi resiko perusahaan pemenang lelang wilayah eksplorasi. Pemerintah baru akan mengganti biaya eksplorasi tersebut setelah ada minyak/ gas yang diproduksi secara komersial dari lapangan tersebut, dalam artian jika seluruh eksplorasi dianggap “gagal” dan tidak ekonomis maka pemerintah tidak perlu menanggung kerugian dari investasi yang tidak berhasil tersebut.
Sebagai kontra-prestasi untuk para kontraktor, pemerintah akan mengganti biaya investasi awal dan juga biaya operasional produksi para kontraktor melalui sistem COST RECOVERY. COST RECOVERY merupakan persentasi dari hasil penjualan minyak kotor (revenue). BPMIGAS bertanggung jawab untuk mengatur klaim COST RECOVERY para kontraktor agar jumlahnya tidak merugikan negara, wajar berdasarkan basis yang kuat, dan dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga dalam sistem PSC – negara adalah pemilik aset & cadangan, negara tidak melakukan investasi pada resiko, negara mendapatkan porsi bagi hasil terbesar, namun negara juga harus menanggung biaya operasional produksi dan juga mengganti investasi awal kontraktor pada lapangan produksi tersebut.
Dalam sistem PSC, tidak semua minyak dan gas yang diproduksi dapat digunakan untuk kepentingan nasional karena pemerintah harus menyajikan sistem bagi hasil yang menjanjikan pengembalian investasi yang menarik bagi para investor (kontraktor produksi) – kalau tidak, tidak ada yang mau berbisnis migas di Indonesia. Dalam sistem PSC generasi ke-3 berdasarkan paket insentif tahun 1993, dari 900,000 BPD minyak mentah yang diproduksi di Indonesia, 15%-nya digolongkan sebagai first tranche petroleum (FTP). FTP adalah bagian revenue yang tidak dapat digunakan untuk cost recovery, untuk mencegah cost recovery yang terlalu tinggi pada tahap awal produksi MIGAS. Investasi terbesar kontraktor terjadi pada eksplorasi, pengeboran, dan pembangunan fasilitas produksi utama, investasi tersebut kemudian di-depresiasi dengan metode double-declining balance (DDB) selama kurun waktu tertentu. Nilai depresiasi investasi tersebut harus diganti oleh pemerintah setiap tahunnya sehingga apabila tidak ada ketentuan FTP, maka beban cost recovery akan terlalu besar dan dapat menghabiskan seluruh revenue. Cost recovery yang tidak terbayarkan oleh pemerintah pada tahun tersebut akan terbebankan pada tahun berikutnya. FTP kemudian dibagi menjadi jatah pemerintah dan kontraktor sesuai dengan kesepakan bagi hasil. Persentase bagi hasil pemerintah : kontraktor beragam dari 80:20; 85:15; 90:10 tergantung pada jumlah produksi minyak dan kompleksitas produksi dari lapangan tersebut, secara rata-rata adalah 80:15 (khusus untuk gas – 70:30). FTP memberikan jaminan kepada pemerintah untuk memperoleh keuntungan sejak awal produksi, dengan secara langsung juga membatasi jumlah maksimum cost recovery per tahunnya.
85% minyak yang tidak termasuk FTP adalah minyak yang hasil penjualannya (revenue) digunakan pemerintah untuk membayar kewajiban cost recovery kepada kontraktor dan juga sebagai keuntungan (equity). Equity adalah Revenue (di luar FTP) dikurangi Cost Recovery. Equity – seperti halnya FTP – kemudian dibagi berdasarkan persen bagi hasil yang sama. Sehingga secara keseluruhan, rasio bagi hasil untuk produksi minyak Indonesia saat ini adalah 85:15.
COST RECOVERY merupakan jumlah total dari biaya operasional non-kapital, depresiasi dari investasi kapital, dan biaya-biaya yang belum ter¬-recover dari tahun sebelumnya. Biaya yang harus diganti oleh pemerintah seringkali diekivalenkan dengan jumlah minyak sesuai dengan harga minyak dunia saat itu. Sebagai contoh, jika cost recovery untuk produksi minyak pada tahun 2006 adalah US$ 5.9 Juta dengan harga minyak adalah US$ 64,28/ barrel, maka jumlah cost recovery yang terbebankan pada pemerintah Indonesia ekivalen dengan 92 Juta barrel/ tahun (BPY) atau ~252,000 barrel/ hari (BPD). Jumlah ekivalen BPD untuk membayar cost recovery kemudian disebut dengan cost oil. Hak cost recovery kontraktor akan dibayar tunai oleh pemerintah sehingga pemerintah tetap memiliki hak pemasaran cost oil. BPMIGAS setiap tahunnya menetapkan target bahwa revenue/ cost recovery ratio harus tetap di atas 400%.
PADA DASARNYA KONTRAKTOR PRODUKSI MIGAS TIDAK MEMBAYAR PAJAK SECARA EKSPLISIT KEPADA PEMERINTAH. Pajak kemudian dibebankan kepada porsi equity pemerintah, sehingga dari BAGIAN KEUNTUNGAN PEMERINTAH, sejumlah tertentu seolah-olah “dikembalikan” kepada kontraktor untuk membayar pajak. Sebagai ilustrasi dengan asumsi % bagi hasil untuk kontraktor dan pajak penghasilan untuk produksi MIGAS adalah 15% dan 50%, maka % bagi hasil untuk kontraktor sebelum dipotong pajak adalah (15%/(100%-44%) = 27% (Partowidagdo, 2012). Berarti 27% DARI PRODUKSI MINYAK INDONESIA MERUPAKAN HAK DARI KONTRAKTOR, belum termasuk pajak. Dari 27% tersebut, kontraktor dikenakan kewajiban untuk memasarkan 25%-nya kepada pasar domestik - DMO (secara kasar seperti dikembalikan ke pemerintah), sedangkan 75% sisanya merupakan hak pemasaran penuh kontraktor (umumnya di-ekspor). Sehingga jika dijumlahkan secara keseluruhan, dari 900,000 BPD produksi minyak Indonesia, 21%-NYA MERUPAKAN HAK PEMASARAN KONTRAKTOR (UMUMNYA DIEKSPOR) DAN 79% SISANYA ADALAH HAK PEMASARAN PEMERINTAH. Adapun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, jika ditinjau dari segi profit, maka 15% dari keuntungan penjualan minyak adalah hak kontraktor, dan sisanya adalah hak pemerintah. Dari 79% hak pemasaran pemerintah (716,000 BPD), hanya 600,000 BPD YANG DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI SUPLAI MINYAK MENTAH UNTUK KILANG NASIONAL dengan alasan ketidak-cocokan dengan spesifikasi kilang, sehingga > 100,000 BPD sisanya harus diekspor. Sebagian besar ketidak cocokan tersebut disebubkan oleh keberadaan merkuri (Hg) dalam minyak tersebut. Skema aliran minyak bumi yang diproduksi di Indonesia dapat dilihat pada gambar.
Diperkirakan bahwa profit pemerintah dari sektor minyak pada tahun 2012 akan berkisar pada 344 Trilliun IDR, tidak termasuk pajak. Dengan asumsi target lifting 2012 tercapai. Perlu diketahui bahwa apabila Pertamina membeli minyak dalam negeri yang tidak diproduksi oleh Pertamina, Pertamina tetap membayar seharga ICP (Indonesian Crude Price) – hal itulah yang menyebabkan pemerintah harus memberi subsidi kepada Pertamina untuk menutup kerugian akibat menjual sebagian produk BBM-nya dengan harga murah.
Jumlah minyak mentah yang dapat digunakan untuk kepentingan domestik adalah sekitar 600,000 BPD. Tentunya sangat sedikit jika dibandingkan konsumsi BBM jadi Indonesia yang total mencapai 1,400,000 BPD. Kekurangan tersebut ditutupi dengan cara meng-impor minyak mentah sebanyak 400,000 BPD dan juga BBM jadi sebesar 500,000 BPD. Mengapa Indonesia masih harus meng-impor BBM jadi (produk), adalah karena keterbatasan kapasitas kilang Pertamina di seluruh Indonesia yang mencapai 1,057,000 BPD. Dari 1,000,000 BPD minyak mentah yang menjadi umpan kilang, Pertamina dapat memproduksi 660,000 BPD (2010) produk BBM (bensin, solar, minyak tanah, avtur, dll) dan 240,000 produk non-BBM (LPG, Naphta, Pelumas, Petrokimia, dll). Untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional yang mencapai 1,100,000 BPD, pemerintah pun meng-impor BBM sebanyak 445,000 BPD (2011, termasuk BBM yang tak disubsidi seperti Avtur dan Pertamax Plus (RON 95)