Lihat ke Halaman Asli

Siauw Tiong Djin

Pemerhati Politik Indonesia

Peraturan Presiden 10-1959

Diperbarui: 8 September 2021   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penduduk Tionghoa di Indonesia pernah mengalami tekanan hidup yang luar biasa, yaitu pada tahun 1959-1960. Malapetaka yang dialami ini mungkin terburuk dalam sejarah Indonesia, karena merupakan penderitaan banyak Tionghoa di berbagai wilayah dan membuahkan exodus paksaan yang merugikan banyak Tionghoa dan Indonesia secara keseluruhan.

Apa yang menyebabkan malapetaka yang diderita penduduk Tionghoa ini? Lagi-lagi kebijakan pemerintah yang bisa dinyatakan sebagai sebuah kejahatan negara, yaitu  PP 10 -- Peraturan Presiden  nomor 10 yang dikeluarkan pada November 1959.

Timbul pertanyaan, mengapa PP-10 dikeluarkan oleh seorang Soekarno, yang dikenal tidak memiliki sikap rasis, bahkan dekat dengan banyak tokoh politik Tionghoa? Latar belakangnya  diuraikan dalam tulisan singkat ini.

Zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959) menyaksikan jatuh bangunnya kabinet-kabinet. Konstituante yang ditugaskan untuk menelurkan UUD baru terus menerus mengalami deadlock. 

Timbul pula ketidak puasan Angkatan Darat yang dipaksa untuk tunduk kepada pemerintahan sipil. Pimpinan Angkatan Darat di bawah Nasution memperoleh kesempatan untuk mengubah situasi.

Pada 1957-1958, terjadi pemberontakan DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia) di berbagai wilayah di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi. Di Sumatra bangkit gerakan Permesta -- Piagam Perjuangan Semesta yang bekerja sama dengan banyak tokoh Masjumi dan PSI dalam membentuk PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra pada Februari 1958. Ini merupakan gerakan membentuk Indonesia sebagai negara Islam. Sejarah membuktikan bahwa CIA terlibat dalam pemberontakan ini.

Perkembangan ini menyebabkan Angkatan Darat diberi kekuasaan luar biasa di daerah. Pimpinan milter di banyak daerah berhak mengeluarkan berbagai peraturan atas dalih keamanan. Sebagian peraturan ini mengandung tindakan rasis terhadap komunitas Tionghoa. Di antaranya peraturan yang melarang siswa Tionghoa yang WNI bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa. Ini kemudian disusul dengan keinginan sebagian pimpinan militer di daerah untuk melarang Tionghoa berdagang di kota-kota kecil dan di desa-desa.

Mereka menginginkan keuntungan para pedagang Tionghoa jatuh ke tangan para pedagang "asli". Tentunya pimpinan militer di daerah memperoleh sesuatu dari proses ini.

Keinginan ini disambut oleh Menteri Perdagangan, Rachmat Muljomiseno, seorang tokoh politik NU yang mendukung paham bahwa pedagang "asli" harus dibantu berkembang dengan cara memaksa Tionghoa menyerahkan usahanya ke para pedagang "asli". Pada Mei 1959, Rachmat Muljomiseno mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan yang melarang orang asing berdagang eceran di daerah di perdesaan. Yang diuntungkan tentu para pedagang yang mendukung NU dan Masjumi.

Peraturan ini ditentang keras di DPR. Pemerintah RRT-pun mencela kebijakan ini. Pada November 1959, keluarlah Peraturan Presiden nomor 10 (PP 10), yang memperlunak arus ini dan memberi waktu hingga 1 Januari 1960 untuk para pedagang Tionghoa asing berhenti berdagang eceran di pedalaman.

Banyak yang berkesimpulan bahwa Soekarno yang dikenal anti rasisme, demi memperoleh dukungan Angkatan Darat dan partai-partai Islam, terpaksa melakukan kompromi politik dengan mengeluarkan PP 10.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline