- Kontributor : Iffat Taqiyyah Widyastuti & Dr.med.vet.drh. Hendry T.S.S.G.Saragih,M.P. -
Pendahuluan: Jejak Keluarga yang Abadi
Desa adalah tempat interaksi masyarakat. Membina hubungan dan komunikasi penting untuk harmoni. Namun, di Desa Limbong Aek Sipitudai, mayoritas warga memiliki ikatan darah. Terletak di Kabupaten Samosir, hubungan darah kuat di desa ini mempengaruhi dinamika sosial dan budaya.
Desa Limbong Aek Sipitudai mayoritas dihuni suku Batak dengan marga Limbong. Menurut cerita rakyat, marga ini berasal dari keturunan Si Raja Batak melalui Guru Tatea Bulan, yakni Limbong Mulana. Limbong Mulana pada saat itu dikisahkan memiliki seorang anak bernama Raja Limbong dan cucu bernama Palu Onggang dan Langgat Limbong. Berdasarkan keterangan Op. Bona Br. Sihotang dalam Silitonga (2017), generasi kedua Limbong Mulana, Langgat Limbong, haus. Dia membuat tujuh lubang tanah dengan tongkat, berharap air keluar. Berdoa, Langgat meminta air. Akhirnya, air muncul dari lubang-lubang itu, menciptakan Aek Sipitudai, mata air sakral dengan tujuh pancuran berbeda.
Aek Sipitudai sendiri adalah sebuah mata air yang dipercaya memiliki nilai sakral oleh warga setempat (S. Limbong, komunikasi pribadi, 2023). Aek Sipitudai, mata air dengan 7 pancuran yang dipercaya memiliki beragam rasa yang berbeda tiap meminumnya, dihormati karena cerita rakyat. Keterkaitan dengan Si Raja Batak yang turun di Sianjur Mula Mula, meninggalkan jejak di Aek Sipitudai, memperkuat nilai sakral dan penghargaan warga setempat.
Sianjur Mula Mula dan Aek Sipitudai: Mula-mula dan Cerita yang Berkembang
Kecamatan Sianjur Mula Mula memiliki daya tarik sejarah karena diyakini sebagai asal lahirnya Suku Batak. Si Raja Batak pertama kali turun di Pusuk Buhit, yang berlokasi di Sianjur Mula Mula. Hubungannya dengan Aek Sipitudai pun menjadi erat.
Salah satu cerita rakyat yang berkembang dan sangat diyakini yaitu dikisahkan bahwa Si Raja Batak yang memiliki salah satu anak bernama Guru Tatea Bulan. Guru Tatea Bulan memiliki anak-anak yang masing-masing kembar sepasang. Sepasang yang laki-laki bernama Saribu Raja dan yang perempuan bernama Si Boru Pareme. Saribu Raja dan Si Boru Pareme yang merupakan saudara kandung dikisahkan menjalin asmara hingga akhirnya Si Boru Pareme mengandung seorang anak. Perkawinan sedarah dalam budaya Batak dianggap melanggar hukum kuno (Samosir & Arnita, 2018). Saribu Raja dan Si Boru Pareme kemudian memisahkan diri dari saudara-saudara kandungnya yang lain. Saribu Raja merantau ke Barus, Tapanuli Tengah. Sementara itu, Si Boru Pareme berpindah ke Ulu Darat, Humbang Hasundutan (Silitonga, 2017).
Si Boru Pareme dibantu oleh harimau berkaki tiga, Babiat Sitelpang, melahirkan anak Si Raja Lontung. Karena hubungan saudara, Si Raja Lontung tak memiliki pariban (putri dari paman) karena ia adalah anak dari tulang atau pamannya sendiri. Tak mengetahui seluk beluk keluarganya, Si Raja Lontung mencari identitas di Aek Sipitudai, tempat yang memiliki tujuh rasa, petunjuk dari ibunya. Si Boru Pareme juga memberikan cincinnya yang dikatakan, apabila cocok dengan jari manis wanita yang Si Raja Lontung temui nanti, maka wanita tersebutlah pariban-nya (S. Limbong, komunikasi pribadi, 2023).
Si Raja Lontung menemukan Aek Sipitudai, dipasangkan cincin pada wanita yang cocok, yang ternyata ibunya, Si Boru Pareme. Wanita ini menceritakan cerita Saribu Raja dan Si Boru Pareme kepada Si Raja Lontung. Dikisahkan Si Raja Lontung pada akhirnya menikahi ibunya sendiri dan melahirkan tujuh orang keturunan yang nantinya akan menjadi cikal bakal beberapa marga, yaitu Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Aritonang, Simatupang, Nainggolan, dan Siregar (Silitonga, 2017).
Puncak Pusuk Buhit | Foto: Dokumentasi Pribadi (2023)