Apa yang terjadi, terjadilah. Pertandingan antara Aceh dan Sulteng dalam PON 2024 viral kemana-mana. Sayang, menjadi bahan pembicaraan bukan karena pertandingannya menarik, adu skill yang sengit, strategi bermain bola yang hebat. Viral karena pemain memukul wasit.
Aduh! Mereka yang membela pemukul wasit ini, dengan mengatakan wasitnya tidak becus, curang, sangat berpihak, dan alasan lain untuk pembenaran, tidak menyadari kalau wasit merupakan posisi terhormat dalam suatu pertandingan.
Tentu saja, protes kepada wasit dibenarkan. Apalagi dalam pertandingan sepakbola. Protes ini seperti jamak saja terjadi. Pemain mengomel, menunjukkan raut tidak muka tidak suka, bahkan berteriak-teriak, bukan barang baru. Jangankan pemain, banyak pelatih kelas dunia melakukan protes, sampai diikartu merah oleh wasit yang diprotes.
Namun pemain dan pelatih ini tahu benar kalau sejengkel-jengkelnya mereka, semarah-marahnya, sebanyak-banyak kesal karena diperlakukan tidak adil, tetap mereka taat rambu: 'tidak boleh memukul wasit'. Maka pemain yang protes itu, sangat besar protesnya sampai wasit memberi kartu merah, tetap menurut keluar lapangan. Walau keluarnya sambil menggerutu atau menendang kursi bench, tetap saja mereka tidak memukul wasit. Demikian juga pelatih, sedongkol mereka, tetap minggir dari pinggir lapangan.
Maka, kalau pemain memukul wasit, tidak ada pembenaran baginya. Kalau wasit yang dipukul itu memang curang, sangat berat sebelah, keadaan pemukul mirip dengan sudah jatuh tertimpa tangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H