Lihat ke Halaman Asli

Michael Siahaan

Berpikir, bekerja, bersahaja.

Pancasila di Antara Zaskia, Sahat, dan MPR

Diperbarui: 23 April 2016   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Michael Siahaan

Akhir-akhir ini Indonesia kembali “demam” Pancasila setelah seorang penyanyi dangdut dengan pendidikan pas-pasan bernama Surkianih atau lebih dikenal sebagai Zaskia Gotik menyebut lambang sila kelima Pancasila adalah “bebek nungging”.

Pancasila, yang mungkin sudah bertahun-tahun tidak pernah dibahas dan dianalisa secara luas, kembali mencuat ke permukaan bersamaan dengan hujatan masyarakat kepada Zaskia yang seolah menganggap sang biduan seorang penghianat negara.

Tak pelak, tekanan bertubi-tubi hinggap di pundak si “Eneng”. Berkali-kali permintaan maaf terlontar dari mulutnya, kepada masyarakat kepada Presiden, sesekali diiringi dengan air mata. Pemeriksaan polisi pun dilewatinya.

Namun, layaknya sinetron cinta di televisi, akhir kisah Zaskia berakhir indah. Dia tidak kena hukuman apapun dan bahkan diangkat menjadi “Duta Pancasila” oleh Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR), sebuah jabatan absurd yang hanya ada di era Presiden Joko Widodo. Nanti akan kita bahas.

Kita tinggalkan si mantan tunangan Vicky Prasetyo. Cerita pun bergulir ke Sumatera Utara, di mana seorang aktivis bernama Sahat Gurning ditangkap polisi akibat mempublikasikan gambar dia sedang menendang lambang Garuda Pancasila melalui akun FB-nya. Sahat menyebutnya sebagai “Pancagila”.

Dari penelusuran, sebenarnya Sahat sudah mem-“posting” gambar itu sejak tahun 2014. Dia lalu me-“repost”-nya kembali pascakasus Zaskia Gotik dan mendapat tanggapan dari teman FB-nya yang tentu semakin banyak. Menariknya, dia bahkan membuat sendiri lima sila dari “Pancagilanya”.

Pertama, Keuangan yang Maha Kuasa. Kedua, Korupsi yang Adil dan Merata. Ketiga Persatuan Mafia Hukum Indonesia. Keempat, Kekuasaan yang Dipimpin oleh Nafsu Kebejatan dalam Persengkongkolan dan Kepura-puraan. Kelima Kenyamanan Sosial bagi Seluruh Rakyat Keluarga Pejabat dan Wakil Rakyat.

Oke, tahan dulu nafas anda, karena ini belum selesai. Mari sejenak menuju ke Senayan, tempat di mana para wakil rakyat yang berbadan harum, cantik, ganteng, pintar dan bermartabat bekerja.

Dari kompleks gedung kura-kura megah itu tercetuslah sebuah ide nan “brilian” bernama empat pilar kebangsaan, yang isinya adala Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Pilar, dalam KBBI artinya tiang penguat, bisa juga penyangga. Istilah ini dipopulerkan oleh mantan Ketua MPR Taufik Kiemas, yang juga suami dari Megawati Soekarnoputri.

MPR pun menjadikan “empat pilar kebangsaan” itu sebagai program wajib yang harus disosialisasikan ke seluruh rakyat Indonesia sampai ke pelosok. Berbeda dengan Zaskia dan Sahat, tidak ada gembar-gembor yang terlalu terkait hal itu. Masyarakat adem ayem, sampai akhirnya Mahkamah Konstitusi secara tegas melarang penggunaan frasa “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” oleh MPR melalui Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013 yang dikeluarkan setelah adanya “judicial review” terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline