Lihat ke Halaman Asli

Naposo Batak Zaman Sekarang, Peluang dan Tantangannya

Diperbarui: 5 April 2018   10:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu, 19 Nopember 2017 hingga pukul 19.30 WIB, komplek kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI) masih dipenuhi anak-anak muda. Mereka berkumpul dan beraktivitas dibeberapa titik. Ada yang dipelantaran kampus, ditaman kampus dan ada juga yang didalam ruangan. Kalau ditotal, jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. Anak-anak muda yang sebagian besar adalah pemuda-pemudi Batak (Naposo Batak) tersebut, juga terlihat melakukan aktivitas yang berbeda-beda. Ada yang latihan menari (tortor), latihan paduan suara, liturgi, rapat, dan ada juga yang sekedar duduk-duduk santai dipelantaran kampus atau hanya sekedar melihat lihat. Beragam aktivitas yang dimaksud diatas dilakukan dalam rangka persiapan perayaan Natal.

Setiap hari Sabtu dan minggu, komplek kampus Universitas Kristen Indonesia yang berlokasi di Cawang, Jakarta Timur tersebut, memang selalu dipenuhi oleh Naposo Batak. Intensitas pertemuan-pertemuan disana semakin meningkat menjelang Bulan Desember, dimana perkumpulan perkumpualan (punguan marga) Naposo Batak akan mengadakan perayaan Natal. Tentunya, konsep dan waktu pelaksanaanya juga berbeda-beda. 

Sebetulnya, kegiatan tersebut tergolong kegiatan yang positif, karena selain dapat mempererat tali persaudaraan, aktivitas tersebut sekaligus dapat mencegah Naposo Batak menghabiskan waktunya untuk perbuatan perbuatan yang negative atau menyimpang di Ibu Kota. Dengan begini, waktu akhir pekannya dihabiskan untuk kumpul kumpul di UKI.

Tanpa bermaksud mengesamping kemanfaatan aktivitas-aktivitas Naposo Batak yang cenderung dilakukan secara rutinitas tadi, apa sebetulnya peluang dan tantangan Naposo Batak kekinian, atau sekarang sering disebut Naposo Batak jaman now ?. Sebagai pengingat, saat ini kita sudah berada pada masa Revolusi Industri 4.0. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita akan berangkat dari kondisi kekinian. Pertama, bahwa kita harus mengakui Dunia berubah cukup cepat, perkembangan teknologi berkembang sangat pesat.Siap atau tidak siap, kita harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang dimaksud. Kalau tidak, kita pasti akan tertinggal. Tergilas oleh jaman. Kedua, saat ini kita sudah mulai mengalami Bonus Demografi Indonesia. Bonus Demografi ini, bisa jadi peluang besar, bisa juga jadi tangtangan yang cukup mengancam perkembangan bangsa.

Dari segi perkembangan teknologi misalnya, seperti yang disinggung Presiden Joko Widodo belum lama ini saat berbicara didalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, 26 April 2017 di Jakarta. Presiden Jokowi menyoroti masih kurang baiknya perencanaan di Indonesia dan betapa tertinggalnya kita dalam hal penguasaan teknologi. Presiden meminta ada perubahan perencanaan agar menjadi lebih visioner seperti bos Tesla, Elon Musk. Seperti Mark Zuckerberg si pemilik Facebook, seperti Jack Ma si pemilik Alibaba, dan orang-orang sukses lainnya.

"Di luar sana orang sudah berpikir jauh. Coba lihat Elon Musk, dia berpikir mengenai kendaraan supercepatnya hyperloop, Tesla, dan SpaceX. Mereka sudah berpikir ke mana-mana, ke arah masa depan yang sangat fantastik," pungkas Joko Widodo. Musk sendiri belum lama ini kembali berambisi untuk membangun antarmuka mesin-otak bernama Neuralink yang menjalankan isi kepala. Mesin ini mengombinasikan kecerdasan otak manusia dan mesin yang konsepnya sebenarnya sama seperti yang diinginkan Facebook. Kendati demikian, Musk dan timnya tampaknya sudah lebih dekat untuk memasarkan interface ini sebagai produk massal. Bos SpaceX ini ingin mewujudkan Neuralink dalam empat tahun ke depan.

Jokowi mengakui jalan yang harus dilalui Indonesia begitu panjang untuk mengejar ketertinggalan, tapi bukan berarti tidak bisa. Apalagi jika pengembangan teknologi tidak selalu berkutat pada hal-hal konvensional. "Dulu kita bicara internet (dial up), tak lama kemudian bicara mobile internet," kata Jokowi. "Belum selesai bicara mobile internet, sudah ada Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Itulah kecepatan yang harus kita ikuti."

Terkait kondisi bonus demografi, Negara Indonesia memang akan mendapatkan bonus yaitu bonus demografi pada tahun 2020 sampai tahun 2030. Paling lama sampai tahun 2035. Bonus demografi dapat diartikan sebagai sebuah fase, siklus atau kondisi dimana usia produktif pada sebuah negara lebih besar daripada usia non produktifnya. Kondisi ini tentunya akan otomatis berdampak terhadap perekonomian suatu negara. Dampak ekonomisnya adalah, pertumbuhan perekonomian yang signifikan dengan catatan adanya tindakan pra kondisi yang efektif.

Kondisi atau fase ini disebut bonus karena tidak terjadi terus menerus melainkan hanya sekali saja terjadi dalam beribu-ribu tahun. Sedangkan yang dimaksud usia produktif yaitu kategori usia 15 - 64 tahun. Hitungan ekonomisnya, ketika usia produktif mendominasi jumlah penduduk suatu negara, maka akan menjadikan rasio ketergantungannya (Depedency Ratio) menjadi rendah. Sementara rasio ketergantungan penduduk Indonesia pada tahun 2020 sampai tahun 2035 diperkirakan berada dikisaran 0,4 - 0,5. Itu artinya 100 orang usia produktif hanya akan menanggung 40 - 50 saja penduduk usia non produktif. Kondisi ini tentu akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Sesuai kondisi diatas, beberapa pihak berpendapat bahwa tahun 2030 - 2035 adalah masa keemasan Indonesia. 

Pendapat ini memang ada benarnya. Karena jika ada persiapan yang matang dalam menyambut masa itu, akan menjadi berkah tersendiri untuk Indonesia. Oleh sebab itu, harus dimanfaatkan dan disikapi lewat langkah-langkah yang konprehensif. Dan mengingat waktunya yang sudah semakin dekat, segala persiapannya sudah harus dimulai dari sekarang. Semua pihak harus berbenah diri.

Menanggapi Bonus Demografi tersebut, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Surya Chandra Surapaty, mengatakan bonus demografi bisa menjadi bencana jika tidak dipersiapkan dengan baik. Hal tersebut terungkap dalam Seminar Kependudukan di Aula FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Rabu (2/8/2017). Acara tersebut dihadiri Rektor UNS Prof Dr Ravik Karsidi, MS dan Sekda Surakarta Budi Yulistianto. Seminar juga diikuti ratusan siswa dan mahasiswa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline