[caption id="attachment_199368" align="alignnone" width="518" caption="Kolong underpass Rawa Buaya Cengkareng Jakarta Barat"][/caption]
Sedari kecil, ibu saya sudah melabeli saya orang yang suka kelayapan.Kalau nenek saya tanya “Nan, itu anak lo kemana?” dengan logat betawinya, dan Ibu saya cuma bilang “Si Eka itu dari bayi bulu kakinye udah jatoh di jalan. Ga usah dicari, ntar laper juga pulang.” Sewotlah sang nenek, lantas angkat kainnya tinggi-tinggi kemudian menjelajah tempat-tempat yang ditengarai disinggahi oleh saya.
[caption id="attachment_199370" align="alignnone" width="553" caption="Car free day di Bundaran HI (sepeda bagus2 kok bannya dicopot Mas?)"]
[/caption]
Misalnya ketemu on the spot atau sepulangnya saya ngayap, sudah pasti paha saya abis dicubiti nenek yang gemes dan dan kelelahan mencari saya. Tapi saya tidak kapok. Ketika benar-benar sudah kepingin, maka kaki saya melangkah seenaknya saja. Salah satu kejadian yang masih saya ingat adalah dari rumah (di kawasan Jakarta Barat) saya jalan kaki ke satu perpustakaan besar kalau tidak salah di daerah kwini (Jakarta pusat). Itu saya lakukan karena perpustakaan itu memiliki koleksi lengkap komik dan karpet yang enak buat tempat rebahan sambil baca-baca. Dan itu saya lakukan saat usia saya masih sekitar 8 – 9 tahun.
[caption id="attachment_199380" align="alignnone" width="614" caption="salah satu sudut Magelang"]
[/caption]
Sepulangnya (sore hari) saya ditanya nenek yang selalu jengkel melihat ulah saya. Tentu saja saya jawab apa adanya. Dalam hati, mungkin nenek saya akan bangga cucunya main-main ke perpustakaan seharian. Ternyata saya salah, hehehe. Saya dihukum mengisi bak mandi sampai penuh dengan pompa air tangan (pompa kodok). Kejadian-kejadian semacam ini selalu berulang secara acak baik tempat maupun kekerapannya. Hingga akhirnya nenek saya pun kapok untuk memarahi saya lagi ketika saya masuk SMP.
[caption id="attachment_199374" align="alignnone" width="426" caption="dekat musium kereta kencana Yogyakarta (lupa nama musiumnya)"]
[/caption]
Kebiasaan ini berlanjut hingga saya kuliah di Bandung. Pelosok Bandung saya jelajahi dengan modal betis dan rokok ketengan di tangan. Pengalaman yang membuat saya ngeri adalah ketika berhadapan dengan massa yang marah akibat batalnya satu konser musik rock sekitar tahun 1992 (atau 93, saya agak lupa). Saat itu hujan deras, saya sendiri. Di depan segerombolan massa yang nampaknya marah berjalan dan pasti berpapasan dengan saya. Saat itu yang dapat ucapan terima kasih adalah rambut gondrong saya. Dikiranya satu aliran, mereka malah mengangkat tangan menyapa saya yang sama-sama basah kuyup.
[caption id="attachment_199376" align="alignnone" width="409" caption="Sudut Malioboro, hayo saya mau kemana ini..."]
[/caption]
Lalu kenapa saya ceritakan? Sebelum tulisan ini dibuat, saya berpikir; seandainya dari dulu sudah punya kamera, tentu sudah berkarung-karung foto dengan tema street photography yang saya miliki. Jadi tidak pusing ngorek-ngorek Harddisk untuk ikut dalam tantangan Kepala Suku Kampret kali ini.
Jadi hanya segini dulu yang saya persembahkan untuk yang mau baca kisah hidup saya yang aneh ini hehehe. Ga nyambung ya narasi sama ilustrasi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H