Lihat ke Halaman Asli

Zona Nyaman United

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sir Alex Ferguson dan Manchester United adalah dua nama yang tak terpisahkan satu sama lain. Jika Phil Jackson dapat diasosiasikan dengan Chicago Bulls dan Los Angeles Lakers, maka lain halnya dengan Sir Alex. Fergie adalah Red Devils, dan Red Devils adalah Fergie. Akibatnya, ketika setan tua itu memutuskan untuk gantung trisula, gemparlah sejagad Carrington.

Tapi namanya juga setan, ya selamanya akan tetap menjadi setan. Meski telah memutuskan pensiun, Fergie masih rutin bergentayangan di sekitar Stadion Old Trafford. Tak berhenti sampai disitu, dirinya bahkan terus menghadirkan momok di benak para penggemar, yang masih sangsi jika performa United akan mampu semenawan di era Fergie.

Hal tersebut dapat dimengerti, sebab para penggemar United memang sudah terlalu lama berada di dalam zona nyaman. Berlimpah gelar juara dan relatif aman di empat besar Liga Inggris, secara otomatis membuat mereka terlena dan mengabaikan segala bentuk perubahan. Filosofi United, Fergie’s way, atau apapun itu namanya bagaikan sebuah doktrin yang harus selalu diamalkan.

Buktinya, ketika junjungan mereka mengajukan seorang Manajer medioker untuk menjadi suksesornya di Old Trafford, segenap fans kontan mengamini keputusan tersebut. Dan ketika musim 2013/2014 akhirnya berlangsung tragis, yang berakhir dengan pemecatan si medioker, tak sedikit penggemar Setan Merah yang mencibir keputusan Board of Director dari klub kesayangan mereka tersebut.

“Manchester United bukanlah sebuah klub instan! Alex Ferguson saja butuh waktu lama untuk membangun United!”

Well, bukankah di era yang berlangsung serba cepat ini, otomatis kita harus turut bergerak cepat pula? Efeknya, ya mental juara yang telah terbangun selama ini dapat terus dipertahankan. Atau mungkin kalian menginginkan stagnasi a la Gudang Peluru di London Utara? Jangan sedih jika suatu saat nanti, di partai penentu gelar, Kapten United terpeleset seperti Kapten dari Merseyside itu.

“Kenapa harus Louis van Gaal yang jadi Manajer!? Dia tidak memahami tradisi klub!”

Berbicara tradisi klub, tentunya mengandalkan jebolan youth academy sebagai tulang punggung tim. Meskipun di masa lalu melahirkan legenda semacam Duncan Edwards, Sir Bobby Charlton, hingga the Class of ’92, tapi faktanya jebolan akademi kalian saat ini hanyalah selevel Jonny Evans, Tom Cleverley dan Danny Welbeck. Bak bumi dan langit bukan?

“In Ryan we trust! Dia lebih paham dengan cara bermain United!”

Maksud kalian, cara bermain United di era Sir Alex? Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat kepada Sang Legenda, Fergie memang pernah mengalahkan Norwich 4-0 musim lalu. Shinji-San mencetak hattrick, ditambah gol Wayne Rooney. Tapi sepertinya, Fergie tidak pernah dikalahkan Sunderland di Old Trafford.Bahkan hal tersebut baru kali ini terulang, sejak tahun 1968 lalu.

“Mehmet Scholl bilang, Louis van Gaal akan bermasalah dengan pemain bintang seperti Wayne Rooney!”

Siapapun manajernya, tentu akan bermasalah dengan pemain yang tidak mau diatur. Bukankah Fergie juga sama seperti itu? Dia melego Becks, Keano dan Ruudtje karena membangkang. Ingat, nama di punggung tidak boleh lebih besar dari lambang di dada. Atau kalian mau memiliki manajer seperti Raymond Domenech dan Andre Villas-Boas, yang tidak mendapat respek pemain bintangnya?

Sudah terlalu lama Manchester United dan para penggemar setianya berada di dalam zona nyaman. Sehingga kemudian mereka menolak tuntutan perubahan, yang datang secara tiba-tiba dan tak terduga itu. Pertanyaannya, mau sampai kapan mereka terjebak disana? Di kala pesaing mereka bergerak cepat, mengusung perubahan yang masif dalam segala aspek.

Untuk membawa mereka keluar dari zona nyaman itu, tak ayal dibutuhkan seorang manajer baru yang kopig (keras kepala). Manajer yang mengusung perubahan di tubuh klub, dan tak segan mengatakan ‘my way or the highway’ kepada para pemain bintang. Contohnya ya manajer yang dulu melego Rivaldo ke AC Milan, meski sang bintang baru menjuarai Piala Dunia 2002. Ooppss...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline