Selama hampir tiga tahun kemarin saya sering bolak-balik ke kota ini hampir setiap minggu. Kota Tanjungbalai yang saya ingat adalah cuacanya yang sangat panas namun wisata kuliner lautnya sangat nikmat. Pantaslah kota ini dijuluki Kota Kerang karena hasil kerang yang ada disekitar Selat Malaka berukuran besar-besar.
Di kota ini, semua etnis hidup berdampingan dengan damai. Menurut data BPS Tanjungbalai 2015, jumlah penduduk Kota Tanjungbalai sebanyak 164. 675 orang yang terdiri dari suku Melayu 26,41%, Batak (Toba, Simalungun, Tapanuli, Pak-pak) 42,56%, Minang 3,58%, Jawa 17,06%, Aceh 1,11%, Tionghoa 9,33%, Nias 0,15 %, dan Mandailing 8,39%.
Lucunya, dalam pembagian statistik di atas, suku Tionghoa tidak disebutkan secara lebih terperinci seperti suku Batak. Padahal, suku Tionghoa yang hidup di kota itu terdiri dari minimal 3 suku: Hokian, Mainland (Han), dan Hakka. Ketiganya bahasanya berbeda aksara, tulisannya pun berbeda. Begitu pula soal adat istiadat mereka, ada perbedaan sedikit, tapi tidak mencolok. Pernah ketika iseng saya mengunjungi tempat perabuan (pembakaran mayat), saya bertanya kepada penjaganya, apa makna tulisan yang ada di pintu gerbang rumah itu. Dengan lugunya ia mengatakan tidak bisa membaca karena beda sukunya.
Etnis Tionghoa di sana hampir semuanya bekerja di sektor informal (ingat: diskriminasi Orba), mulai tenaga kasar sampai businessman. Mungkin agak aneh kedengarannya ketika orang Tionghoa bekerja di sektor kasar. Namun, inilah yang terjadi. Mereka ada yang jadi kuli bangunan, tukang becak (bentor), nelayan, pedagang sayur, dll..
Untuk bentor, yang saya ingat ada anekdot di Tanjungbalai. Bentor di sana full music yang diestel kencang sehingga membuat pengendara lainnya harus ekstrawaspada. "Hanya Tuhan dan sang sopir yang tahu di mana akan berbelok."
Begitu pula untuk angkutan umum. Mereka juga tidak risih untuk naik angkot ekonomi biasa sekelas Mitshubishi L300. Bahkan, untuk perjalanan dari Medan-Tanjungbalai yang memakan waktu 5 jam, mereka juga naik angkot KUPJ dengan tarif 35 ribu, sebuah perusahaan transportasi yang ketika kita search di Google hanya muncul gambar kecelakaan. Padahal, di setiap armadanya selalu bertuliskan "Utamakan Selamat".
Pendek kata, etnis Tionghoa ada yang ada berada di bawah garis kemiskinan ataupun yang mapan secara ekonomi sama seperti etnis lainnya di Tanjungbalai. Pada saat hari raya Imlek, kerukunan umat di sana sangat terasa. Mereka juga mengadakan open house di rumah mereka. Saat itu yang diharapkan bagi masyarakat lain selain "angpao", juga bingkisan. (saya lupa istilahnya di sana).
Yang unik, semua etnis disana berbicara dengan bahasa daerahnya masing-masing, namun semuanya bisa berbahasa Jawa. Parahnya, orang Jawa di sana tidak bisa berbahasa etnis lain di sana.
Konflik Sosial
Sebetulnya, karakter masyarakat Tanjungbalai setahu saya memang keras, namun ramah. Karena pada umumnya masyarakat yang hidup di daerah pesisir di Indonesia memang demikian. Konflik sosial yang terjadi di sana kemarin sebetulnya bukan masalah baru. Tercatat pada tahun 1998, 2001, dan kemarin 2016 antara masyarakat Tionghoa dan warga lainnya. Namun, dalam catatan sejarah, pada tahun 1946 juga pernah terjadi konflik sosial yang dikenal sebagai "Revolusi Sosial Sumatera Timur". Konflik yang terjadi antara warga Melayu dengan warga lainnya.
Di Tanjungbalai, Asahan 3 Maret 1946 sejak pagi ribuan massa telah berkumpul. Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjungbalai. Namun, kerumunan itu berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan. Awalnya gerakan massa ini dihadang TRI, namun karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu istana sultan. Besoknya, semua bangsawan Melayu pria di Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari, 140 orang kedapatan mati, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku. Di Tanjungbalai hampir semua kelas bangsawan mati terbunuh.