Lihat ke Halaman Asli

Antara Mualaf dan Murtad

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

ANTARA MUALAF DAN MURTAD

Secara pribadi saya meyakini kebenaran agama yang saya anut. Secara pribadi pula saya menganggap agama-agama yang ada di muka bumi ini adalah rahmatan lil alamiin. Permasalahan kemudian yang muncul dan kadang menimbulkan konflik horisontal adalah karena ketidakmampuan umat untuk mentransformasikan ayat-ayat yang ada dalam kitab suci ke dalam nilai-nilai kemanusiaan.

Permasalahan kedua adalah egoisme antara pribadi yang sibuk memainkan agama untuk kepentingan pribadi. Misalnya berpindah agama untuk mempermudah melangsungkan perkawinan (kasus jonas). Ataupun menggunakan ayat ayat Tuhan untuk jargon politik. Bahkan sampai menghalalkan darah sesama karena tafsir agama yang diyakininya.

Saya percaya, lebih dari 90% pemeluk agama adalah karena bawaan dari orang tua. Selebihnya karena pemikiran akan penemuan kebenaran ketika ia dewasa. Disinilah kita sebagai manusia diuji apakah tetap dengan agama seperti orang tua ataukah memilih agama baru yang sesuai dengan hati nurani dan pemikirannya. Inilah sebuah siklus yang harus di alami seperti perjalanan spritual nabiyullah Ibrahim AS. Inilah yang kemudian disebut mualaf ataupun murtad dalam pandangan semua agama.

Hipotesis positivistik yang perlu diuji kemudian adalah bagaimana orang yang menemukan kebenaran akan semakin tinggi iman dan taqwanya kepada Tuhan dan juga semakin tinggi pula humanisme yang ia perlihatkan. Ataukah justru orang yang tinggi keimanan dan ketaqwaan seseorang akan menjauhkannya dari realitas sosial disekitarnya seperti dalam cerpen "Robohnya surau kami" karya A.A.Navis.

Saya sendiri memiliki antitesis dari hipotesis diatas bahwa agama itu adalah urusan privat. Fungsi agama sesungguhnya bukan hanya berguna bagi pribadi pemeluknya tetapi juga bagi sesama walaupun mereka berbeda dengan kita.

Meminjam istilah seorang sahabat, AGAMA ITU SEPERTI CELANA DALAM

anggaplah agamamu tidak lebih dari celana dalam
meskipun seberapa pun bagusnya, dan seberapa pun hebatnya, dan
seberapa pun mahalnya celana dalammu, tidak perlu dipamerkan ke orang lain
Tidak perlu disodorkan ke orang lain
Tidak perlu pula dipemerkan ke orang lain
bahkan kalau celana dalammu baru, gak bakalan tuh ada yang mau kalau kamu kasih....
mending celana dalammu kamu pake aja sendiri...

kalau kamu maksain mamerin celana dalammu, paling kamu dikira orang gila..
apalagi kalau kamu maksain mau ngasih celana dalammu ke orang lain....
apalagi kalau kamu maksain orang lain make celana dalammu....

sebab, seberapa pun bagusnya celana dalammu menurut dirimu sendiri..
bagi orang lain, itu tidak lebih dari sekedar gombal pesing yang tidak layak...

kalau kamu maksain ngasih celana dalammu ke orang lain..
paling cuma dibuang ke tempat sampah.........
demikian juga dengan agamamu...
anggaplah itu seperti celana dalammu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline