Ada yang lebih tajam dari pisau dan lebih panas dari bara: kerelaan untuk terluka.
Kerelaan itu seperti hendak meresap dan mengiris-iris malam di penghujung Desember, lalu mengobrak-abrik mimpi buruk yang tak pernah usai. Di kota ini, denyut nadinya adalah gemuruh kendaraan, ledakan kembang api, dan bisikan-bisikan harapan manusia-manusia tersesat yang berusaha mati-matian agar bisa terdengar nyata meski dalam kebisuan yang mengimpit.
Hujan jatuh dari langit dan menyulam kaca jendela kamarku dengan pola acak--sebuah pesan yang belum mampu kuterjemahkan. Tirai hening melindungiku dari kekacauan luar, tetapi aku tahu, aku tidak sendirian. Ada Theri, perempuan yang menjadi pusat orbit segala kekacauan emosionalku.
Ia duduk di kursi yang menghadap ke meja kecil, mengenakan kaus hitam tanpa lengan yang bertuliskan moto hidup paling absurd: "Hidup adalah penantian untuk mati, sisanya ilusi". Siluet bahunya tampak jelas. Rambut panjangnya tergelung berantakan. Beberapa helai terlepas dan membingkai wajahnya. Sebatang rokok terselip dengan anggun di jemarinya. Ia tidak peduli abu yang jatuh, tidak pula terburu-buru untuk mengisapnya.
Theri memiringkan kepala sedikit. Wajahnya setengah tertutup bayangan cahaya lampu meja. Ia terlihat cantik dan seksi dalam ketidakacuhannya, menyerupai perpaduan antara tragedi dan keanggunan. Diamnya, lebih menusuk daripada ribuan kata yang pernah kudengar. Perempuan ini, entah bagaimana, membuat waktu berhenti. Caranya mengisap rokok---perlahan, menikmati setiap detik yang terbakar, dan bagaimana ia memperlakukan dunia dengan kebosanan, semua itu menarik perhatianku dengan cara sangat menyakitkan.
Aku berdiri, diam, tidak ingin memulai percakapan. Ia pun tidak bicara---ya, ia memang tidak pernah bicara lebih dari yang diperlukan. Aku tidak tahu apakah ia sedang membaca pikiranku atau sekadar menikmati irama hujan yang bahkan tidak pernah bisa kupahami. Kami sudah terlalu sering diam. Hanya, meski demikian, kata-kata yang tak terucapkan terasa lebih nyata dari apa pun yang pernah kukatakan sepanjang hidup.
Kami telah lama saling mengenal untuk menyebut ini kebetulan, tetapi terlalu asing untuk menyebutnya takdir. Aku bertemu Theri dalam seminar filsafat di penghujung Oktober sekitar dua tahun lalu. Seminar itu membahas eksistensialisme Sartre dan absurditas Camus, tema yang sudah kukunyah bertahun-tahun. Waktu itu, aku datang bukan karena tertarik pada filsafat, melainkan karena aku ingin menemukan orang-orang yang tidak puas dengan realitas sederhana. Namun, di ruangan itu, semua ide itu terasa basi, hingga aku melihat Theri, berdiri dengan percaya diri yang dingin, lalu ia berbicara.
"Penderitaan bukanlah nasib," katanya, "penderitaan adalah pilihan. Kita menderita karena kita memilih untuk menginternalisasi luka itu sebagai bagian dari identitas kita."
Kalimat itu menghantamku seperti badai---melenyapkan setiap prinsip yang selama ini kusebut milikku. Maka, aku mendekatinya setelah acara berakhir. Dengan berani, atau mungkin bodoh, aku bertanya, "Kalau begitu, apa penderitaan yang kau pilih?"
Ia tersenyum. "Mungkin kau akan mengetahuinya kalau kau cukup sabar."