Saat sinar bulan purnama menyusup melalui sela-sela jendela kamar tua, aroma tembakau melayang-layang di udara, wangi khas kopi sumatera menyengat kuat dari napas kami, dan sepiring kacang rebus yang separuhnya telah kami kelupas, saat itulah ia berkata ingin menuntaskan nasibnya dengan cara paling sunyi yang sangat ia suka: menulis.
Laptop menyala. Cahaya sedikit redup sebab barang itu hampir mendekati usang.
"Baiklah, aku pulang," ujarku.
Begitulah, ia ingin menyelesaikan semuanya tanpa gangguan dan tampaknya benar-benar tidak ingin diganggu siapa pun malam itu.
Hingga aku kembali ke sana, selang beberapa hari ke depan, kamar itu telah kosong---sunyi. Ia memang pernah berkata, "Aku menyukai kesunyian."
Aku menyalakan sebatang rokok, duduk di kursi yang sama tempat kami dulu sering duduk, dan mulai teringat kembali perbincangan-perbincangan lalu saat kami menghabiskan malam bersama---ditemani secangkir kopi hangat, beberapa batang rokok, dan sepiring kacang rebus.
Suatu malam, ia bercerita perihal masa kecilnya.
"Ketika akhirnya Ayah bebas, Ayah bilang kepadaku, penjara itu rumah kedua baginya. Bahkan, katanya lagi, berada di penjara jauh lebih nyaman daripada berkeliaran di luar tapi kebebasan berpikirnya selalu dijegal."
"Mengapa bisa begitu, Pak?" Aku mendesaknya untuk menjelaskan apa maksudnya itu.
Ia mengisap dalam-dalam sebatang rokok yang sudah mengecil, lalu mengepulkan asapnya ke langit-langit sehingga ruangan menjadi kotor dan pengap.
"Ayah hanyalah seorang penulis," katanya dengan nada yang tidak berubah, sambil menekan puntung rokoknya di asbak. "Tapi mereka membencinya. Mungkin mereka pikir tulisan-tulisan Ayah lebih berbahaya daripada sekelompok perampok bersenjata. Kala itu, kata-kata dianggap lebih mematikan daripada peluru."