Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Tamu Saya yang Berkunjung Tadi Malam

Diperbarui: 24 Oktober 2024   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dua orang teman yang sedang bertemu dan bercakap | sumber gambar www.istockphoto.com

Tadi malam, saya sungguh terkejut sebab kedatangan tamu tidak terduga. Sepuluh tahun kami tidak pernah lagi bertemu secara langsung, dan tiba-tiba, di ambang pintu, berdirilah Adit Satria. Kawan saya ini berkunjung tanpa ada pemberitahuan, tanpa isyarat apa pun---barangkali dia mencoba menghubungi, tetapi saya tidak yakin sebab sudah sangat lama kami tidak berkabar, di samping ponsel saya mati selama tiga jam sebelumnya---dan saya merasakan ada hawa aneh dari kemunculannya meski saya tahu dia memang sosok teman yang aneh. Dia berpakaian longgar dan rambutnya sudah memutih, bahkan terlihat menipis, padahal usia kami belum terlalu tua.

Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit. Saya mengajak Adit Satria masuk ke ruangan paling pribadi di rumah ini---ruang kerja. Ruangan saya itu sederhana, hanya berisi rak-rak penuh buku yang selalu menjadi sumber inspirasi saya, serta sebuah laptop di atas meja. Di situlah saya biasanya melepaskan ide-ide yang berputar di kepala, tempat saya mengembara dalam dunia menulis yang saya geluti; tempat pikiran-pikiran saya bebas mengalir tanpa gangguan.

"Tidak saya sangka, kau masih ingat saja dengan saya, Dit, " ujar saya sembari mempersilakan Adit Satria duduk di kursi yang tersedia di ruangan itu.

Sebelum duduk, Adit Satria meraih salah satu buku di rak, hanya melihat-lihat isinya sekilas, dan mengembalikan buku itu ke barisan semula, lalu membalas pertanyaan saya dengan senyum tipis.

"Bagaimana mungkin saya lupa denganmu, Haris Prakarsa? Kau satu-satunya yang pernah bisa memahami pikiran saya." Suaranya terdengar lebih berat dari yang saya ingat.

"Dan saya sering tersesat di antara pemikiran-pemikiranmu yang misterius."

Adit Satria tertawa pelan, lalu mengangguk seperti mengakui sesuatu yang tidak terucapkan selama bertahun-tahun. "Dan tetap saja, kau satu-satunya yang mau mendengarkan saya." Suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan, "maka itu saya ke sini."

Saya dan Adit Satria memang berkawan lama, terhitung sejak sekolah menengah pertama, meskipun saya pun heran dan bertanya-tanya, bagaimana bisa kami menjalin kedekatan sedemikian rupa. Saya tidak pernah benar-benar memahami cara berpikirnya, apalagi dalam banyak hal, dia begitu berbeda dari kawan-kawan yang lain.

Adit Satria sering kali berbicara tentang hal-hal yang tidak biasa bagi usia kami ketika itu, yang bagi kebanyakan orang hanya memusingkan kepala, tetapi bagi dirinya, malah bisa menjadi renungan berhari-hari---belakangan saya paham bahwa apa yang dia katakan dulu ternyata merupakan pandangan filsuf mengenai nihilisme dan eksistensialisme. Entah dari mana dia mendapat pemikiran semacam itu. Tidak mengherankan jika dia akhirnya memilih kuliah di jurusan filsafat. Mungkin di sanalah tempat yang paling tepat untuk dia bisa terus bermain-main dengan keruwetan pikirannya sendiri.

Kami terdiam sejenak, hingga akhirnya Adit Satria mulai membuka percakapan kembali. "Kau masih menulis sekarang, ya?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline