Sore itu belum benar-benar pergi ketika saya pulang dari bermain bola.
Ibu menyambut saya dari depan pintu. "Segera bersihkan badanmu, setelah itu, kita makan bersama."
Makan bersama. Kata-kata itu lebih ditujukan kepada seorang ibu dan dua anak laki-lakinya. Di meja makan, kami bertiga---saya, Ibu, dan Adik---duduk untuk makan. Kami bercakap-cakap, sangat sederhana, tanpa Ayah.
Kami memang selalu saja seperti begitu sehingga saya sempat mempertanyakan, apa sebenarnya makna keluarga yang sempurna? Saya memandang ke piring, mencari-cari jawaban di antara butiran nasi. Barangkali ada. Dan jawabnya, pastilah lebih dari sekadar pelukan dan ciuman setiap hari.
Saya masih ingat betul, saat duduk di anak tangga teratas di rumah ini, sekitar usia empat tahun, semua teriakan dan sumpah serapah berserak di dalam rumah. Terlalu banyak kata-kata kasar, saling melawan, bertentangan, seolah-olah dinding pun akan retak oleh banyaknya kemarahan.
Saya sangat takut untuk menutup telinga karena jika menyentuhnya, saya mungkin terus melakukannya selama beberapa tahun. Ternyata, tanpa saya menutup telinga pun, keributan masih terjadi lagi, lagi, berulang lagi.
Seperti saat saya dan Adik bersiap untuk tidur. Pintu kamar belum tertutup. Terdengar suara Ayah dan Ibu bersanggah-sanggahan.
"Saya mencoba bicara soal anak kita. Kamu tahu itu. Mereka sebenarnya membutuhkanmu!" teriak Ibu.
"Apa maksudmu? Saya tidak menelantarkan mereka. Saya ini bekerja untuk mereka!" balas Ayah. Suaranya meninggi, tidak kalah keras.
Keributan makin membesar, seperti gelombang, bergulung-gulung, hingga saya menutup pintu kamar dengan gelisah. Suara-suara itu terhenti sejenak, hanya untuk kemudian terdengar lagi lebih keras. Saya dan Adik tetap di kamar, ingin melanjutkan untuk tidur dan pura-pura mengabaikan keadaan pahit di luar yang merambat lewat celah pintu.