Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Kapan Lagi Kesempatan Ini Datang

Diperbarui: 6 Oktober 2024   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi wawancara terhadap pencari kerja| sumber gambar pixabay

Ketika Bapak bertanya tentang pekerjaanku di kota, aku melemparkan kebohongan dengan tenang, "Kerja di firma hukum besar, Pak."

Entah bagaimana, kebohonganku selalu berjalan mulus. Orang tuaku seperti percaya sepenuhnya kepadaku. Apalagi, setiap bulannya, aku selalu berusaha mengirimi mereka uang, meski sering kali berasal dari hasil meminjam. Bapak kerap berkata, "Perjuangan Bapak menjual sawah dan traktor untuk kuliahmu tak sia-sia, Nak. Kau anak laki-laki yang bisa Bapak andalkan. Kami bangga, kau contoh yang baik buat adik-adikmu."

Kata-kata itu tentu membuat kepalaku pun terasa mau pecah, seperti dihantam palu. Aku hanya bisa tertawa pahit, karena kenyataannya, Bapak dan Ibu tidak pernah tahu kalau selama ini, setiap malam, aku hanya berdiri di depan pintu klub kebugaran, bukan sebagai pelanggan, apalagi pengelola, hanya sebagai penjaga malam. Mungkin karena tubuhku yang tinggi besar, pihak klub menganggapku cocok untuk pekerjaan yang lebih mengandalkan otot daripada otak---jauh dari pekerjaan impian saat aku mengambil kuliah jurusan hukum. Pekerjaan sebagai penjaga keamanan ini jelas-jelas tidak akan pernah bisa kubanggakan di hadapan Bapak. Aku malu.

Bukan aku malas berusaha. Puluhan lamaran kerja sudah aku kirim, bahkan beberapa perusahaan kudatangi secara langsung. Tapi entah mengapa, keberuntungan seolah enggan mampir. Mau bagaimana lagi? Mencari pekerjaan sekarang rasanya jauh lebih sulit daripada mencari jarum di tumpukan jerami.

Akhirnya, aku terpaksa berpuas diri menjadi security saat malam hari. Siangnya, di bawah terik matahari, kadang-kadang juga menghindari hujan, aku harus memakai kostum maskot yang konyol, berharap orang-orang yang lewat tertarik. Masih bersyukur ada yang mau mengambil selebaranku; sebagian memasukkannya ke dalam tas, entah dibaca atau tidak, sementara sebagian lainnya meremas dan membuangnya ke tong sampah di pinggir jalan.

Siang itu, saat aku membagikan pamflet diskon untuk pelanggan baru di klub kebugaran, ponselku bergetar. Sebuah panggilan masuk. Perasaanku berkecamuk, aku segera mengangkatnya.

"Selamat siang, Baskara. Saya dari agen kepegawaian untuk perusahaan yang Anda lamar. Mohon maaf, sesi wawancara yang dijadwalkan ditunda terlebih dahulu. Tapi, saya baru mendapat kabar bahwa posisi yang kami tawarkan sudah diisi oleh orang lain. Kami mohon pengertian Anda dan harap bersabar untuk lowongan berikutnya."

"Maksudnya, tidak ada wawancara lagi sore ini?"

"Sekali lagi mohon maaf, Baskara, saya akan memberitahu Anda segera setelah ada lowongan lain, tetap semangat dan semoga harimu menyenangkan." Suara dari seberang sana terdengar santun, tetapi tajam seperti belati.

Kututup telepon itu dengan berat hati dan menahan frustrasi yang mendidih. Arg! Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya, memaki-maki pemimpin negeri yang dulu pernah berjanji menciptakan ribuan lowongan pekerjaan saat berkampanye, nyatanya, janji itu omong kosong belaka. Aku hanya berdiri mematung, tak berdaya, seolah-olah nasib telah membuangku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline