Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Prestasi atau Kemanusiaan, Manakah yang Benar-benar Menetukan Nilai Kita?

Diperbarui: 1 Oktober 2024   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi ekspresi seseorang yang puas terhadap pencapaiannya| sumber gambar pixabay

Apa yang sebenarnya disampaikan oleh platform-platform media sosial kepada kita? Platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan lainnya, bahkan platform pencari kerja seperti LinkedIn, misalnya, telah mengungkapkan banyak hal tentang prestasi, jabatan, latar belakang pendidikan, dan jumlah koneksi yang dimiliki seseorang. Foto-foto dari tempat-tempat keren yang seseorang kunjungi sering kali menjadi sorotan---terkadang individu tersebut terlihat berada di latar depan secara tidak proporsional. Ini mungkin mencerminkan tingkat narsisme seseorang, namun lebih dari itu, hal-hal tersebut hanya memberikan sedikit gambaran tentang siapa sebenarnya orang yang kita hadapi.

Kita, sebagai masyarakat, terobsesi dengan status, prestasi, dan pekerjaan---bukan dengan siapa mereka sebagai manusia atau karakter mereka. Hal ini mencerminkan nilai-nilai yang kita anut. Keterikatan kita pada pencapaian menimbulkan pertanyaan penting: Apakah kita sudah berhenti mengenali nilai bawaan seseorang dan hanya memandang diri kita sebagai produk dari pencapaian? Jika ya, bagaimana dampaknya terhadap perilaku dan kehidupan kita?

Sebagai manusia, nilai kita bukan hanya tentang apa yang kita capai, tetapi sifat kemanusiaan bawaan kita yang menjadikan kita berharga. Sayangnya, masyarakat sering kali melakukan dehumanisasi terhadap mereka yang tidak memenuhi standar pencapaian, melabeli mereka sebagai "pecundang" atau "kaum gagal." Nilai kemanusiaan seseorang seolah-olah tidak lagi didasarkan pada kemanusiaan itu sendiri, melainkan pada seberapa baik seseorang memenuhi ekspektasi masyarakat.

Menjadi manusia saja tampaknya tidak lagi cukup. Kita harus mencapai sesuatu, menyesuaikan diri, dan menunjukkan kepada orang lain bahwa kita telah melakukannya. Pada akhirnya, kita mulai memandang satu sama lain bukan sebagai manusia, melainkan sebagai "produk dari perbuatan manusia." Nilai kita tidak lagi bersandar pada keberadaan kita sebagai manusia, tetapi pada apa yang kita capai atau seberapa baik kita menyesuaikan diri dengan ekspektasi lingkungan.

Masyarakat saat ini sangat berorientasi pada pencapaian, terutama dalam hal materi. Kita cenderung mengagumi orang-orang yang sukses secara finansial, memiliki jabatan tinggi, dan menonjol dalam dunia kerja---seperti yang sering kita lihat di profil job kerja mereka, misalnya. Ketika bertemu seseorang, pertanyaan yang paling sering muncul adalah, "Apa yang sedang kamu kerjakan?" Pertanyaan ini hampir selalu merujuk pada pekerjaan atau karier, bukan pada minat, perkembangan spiritual, atau bagaimana mereka memperlakukan orang lain.

Menariknya, karena pertanyaan ini sering diajukan, kebanyakan orang telah menyiapkan "elevator pitch" (pernyataan singkat yang menjelaskan ide, produk, atau diri sendiri dalam waktu 30-60 detik, biasanya digunakan untuk menarik perhatian orang lain dengan cepat dan efektif, yang bertujuan untuk memicu minat dan membuka peluang diskusi lebih lanjut), seolah-olah mereka sedang mempromosikan ringkasan produk diri mereka sendiri. Si penanya kemudian harus menilai posisi seseorang berdasarkan apa yang dianggap berharga atau paling tidak, menarik. Misalnya, jika seseorang bekerja sebagai petugas kebersihan, mereka mungkin dipandang kurang berharga dibandingkan seorang manajer produk. Hal ini mencerminkan bagaimana kita terus-menerus menilai orang lain berdasarkan pencapaian dan prestasi.

Di dunia yang sangat mendasarkan nilai seseorang pada prestasi, banyak orang mulai mengaitkan harga dirinya dengan apa yang mereka capai. Psikolog Amerika Leon Festinger mengusulkan "teori perbandingan sosial," yang menjelaskan bahwa individu membandingkan dirinya dengan orang lain sebagai cara untuk mengukur dan menilai diri mereka sendiri. Hal ini sering terlihat di media sosial, di mana orang membandingkan kecantikan, kekayaan, atau prestasi mereka dengan orang lain, yang sering kali berdampak negatif pada harga diri.

Perlombaan untuk mencapai lebih banyak dan menunjukkan kesuksesan secara terus-menerus telah menjadi budaya kita, sering disebut sebagai "perlombaan tikus." Kita terjebak dalam siklus pencapaian yang tidak ada habisnya, dengan impian bahwa kita bisa meraih segalanya jika bekerja cukup keras. Namun, sebagai sebuah budaya, kita tampaknya tidak memahami ironi dari kegilaan ini: kita rela menghabiskan uang dan waktu untuk mengikuti kursus atau membeli produk yang menjanjikan kesuksesan tanpa henti, meskipun sering kali berakhir pada kelelahan atau burnout.

Oleh karena itu, banyak pria dan wanita muda mati-matian mencari pakar internet yang menghasilkan banyak uang hanya dengan mendikte mereka untuk bekerja keras dan terus-menerus "menghancurkannya". Tapi untuk apa? Hanya karena masyarakat kemudian menganggap kita berharga, dan nilai kita di mata orang lain meningkat seiring dengan meningkatnya prestasi kita?

Dalam bukunya The Burnout Society, filsuf Jerman kelahiran Korea Selatan, Byung-Chul Han, menjelaskan bagaimana masyarakat telah bertransisi dari masyarakat disiplin menjadi masyarakat prestasi. Han menyatakan bahwa masyarakat abad ke-21 bukan lagi masyarakat disiplin, melainkan masyarakat prestasi. Penduduknya bukan lagi 'subjek kepatuhan', melainkan 'subjek prestasi'. Mereka adalah wirausaha bagi diri mereka sendiri. (Han, Byung-Chul. The Burnout Society (p. 8). Stanford University Press. Kindle Edition.)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline