Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Dari Filosofi ke Tren: Ketika Hedonisme Menjadi Prinsip Hidup Modern

Diperbarui: 30 Agustus 2024   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pelaku hedonisme| sumber gambar pixabay

Ungkapan-ungkapan berikut sering kali kita dengar: "Hiduplah seolah-olah ini adalah hari terakhirmu" atau "Nikmati hidupmu sekarang karena kamu hanya hidup sekali. Dan, salah satu istilah paling terkenal adalah "You only live once" (YOLO), yang menjadi sangat populer di kalangan generasi muda.

Istilah "YOLO" dipopulerkan oleh rapper Amerika, Drake, dalam lagunya yang berjudul "The Motto" pada tahun 2011. Dalam lagu tersebut, Drake menyebutkan "You only live once, that's the motto, YOLO." Frasa ini dengan cepat menjadi tren di media sosial dan digunakan secara luas untuk mendorong orang agar hidup tanpa penyesalan dan menikmati momen-momen yang ada.

Namun, konsep ini bukanlah hal baru. Gagasan untuk hidup di saat ini dan tidak terlalu khawatir tentang masa depan telah muncul dalam berbagai bentuk dalam sastra, filsafat, dan budaya pop. Bahkan, ide ini sudah ada sejak abad ke-4 SM, dikenal oleh para filsuf sebagai "Hedonisme."

Mengenal istilah Hedonisme

Hedonisme adalah aliran pemikiran yang pertama kali dikembangkan oleh Aristippos dari Kirene, seorang murid dari filsuf Yunani Kuno terkenal, yaitu Socrates.

Hedonisme mengajarkan bahwa tujuan akhir dari semua tindakan kita dalam hidup adalah mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit. Aristippos percaya bahwa satu-satunya jalan yang baik adalah jalan yang pada akhirnya akan memberikan kesenangan.

Dalam masyarakat saat ini, kita sering diajarkan bahwa cara untuk mencapai kesuksesan adalah dengan berkorban hari ini agar dapat menikmati hari esok, serta menabung untuk menghadapi masa-masa sulit. Setelah lulus kuliah, kita dianjurkan untuk segera mencari pekerjaan dan bekerja keras selama bertahun-tahun, hidup sederhana, dan menabung sebanyak mungkin agar bisa menikmati masa pensiun di kemudian hari.

Aristippos tidak mempercayai konsep kepuasan tertunda. Dia menolak gagasan bahwa seseorang harus menderita di masa kini demi mendapatkan sesuatu yang mungkin menyenangkan di masa depan. Sebaliknya, Aristippos selalu menganjurkan agar orang menikmati apa yang ada dan tersedia saat ini. Alih-alih menyuruh siswa di perguruan tinggi untuk belajar keras demi lulus dan mendapatkan pekerjaan yang baik, Aristippos akan mendorong mereka untuk bersenang-senang sekarang, karena kesenangan tersebutlah yang dapat mereka nikmati saat ini.

Di satu sisi, kita bisa melihat Aristippos sebagai seseorang yang kurang bijaksana dan tidak berpandangan jauh ke depan. Lagipula, jika menyia-nyiakan semua yang kita miliki untuk kesenangan hari ini, kita akan segera kehabisan sumber daya, dan semua kesenangan itu akan berubah menjadi penderitaan. Kita telah melihat akibatnya, mulai dari orang-orang yang kehilangan segalanya karena berfoya-foya hingga mereka yang hidup dalam kemiskinan akibat tindakan mereka sendiri.

Namun, di sisi lain, ada hikmah dalam aliran pemikiran ini. Memang benar bahwa hari esok tidak dijanjikan kepada siapa pun di antara kita, tetapi apa gunanya bekerja keras selama 50 tahun, lalu mengabaikan semua kesenangan saat itu hanya untuk meninggal beberapa tahun sebelum pensiun?

Dan bahkan jika berhasil mencapai masa pensiun, kenyataan yang menyedihkan adalah bahwa 1 dari 4 orang akan mengalami kecacatan pada usia 60 tahun, dan semakin tua usia seseorang, kemungkinan terjadinya hal tersebut meningkat secara drastis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline