Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Hutan, Kemarahan, dan Rasa Malu

Diperbarui: 17 Agustus 2024   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi hutan | sumber gambar pixabay

Aku pernah mendapatkan hadiah cangkir teh yang bertuliskan "Forest" atau hutan, dan itu keren sekali. 

Hutan bagiku adalah tempat perlindungan, rimbun, nyaman, sangat tenang, dipenuhi dengan hidup yang indah. Jika bisa menghabiskan satu hari saja dengan berdiam diri di hutan, aku akan sangat-sangat bahagia. Saat di hutan, aku mudah merasa tercerahkan, tidak seperti di kota dengan kebisingan dan orang-orangnya meski melakukan hal-hal yang normal.

Salah satu tantangan terbesar dalam hidupku adalah tentang kemarahan. Aku bisa menjadi pribadi yang mampu menghakimi, frustrasi, dan tidak sabar. 

Pernah, aku sangat marah kepada diriku karena telah merundung sahabatku sendiri. Kemarahanku sebenarnya bukan hanya kepadanya, tetapi juga kepada komunitas dan budaya yang kurasa tidak memberikan apa yang seharusnya kumiliki sehingga sahabatku menjadi sasaran kemarahanku.

Kendati aku memahami konsep manajemen emosi, entah bagaimana menurutku, pengetahuan itu  telah gagal secara dramatis untuk membantuku memahami, atau bahkan tidak membuat aku bisa mengomunikasikan kemarahanku dengan cara yang sehat. Padahal, aku menginginkan ada satu cara untuk mengarahkanku sehingga bisa memberikan nikmat kedamaian dalam hidup. Ada kekosongan dalam kebijakan diriku sendiri, yang membuatku kesulitan mengatur emosi. Sayangnya, sahabatku menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kemarahan ini.

Siapa pun, mungkin kita semua, cenderung mencari pelampiasan emosi. menemukannya dari tempat yang seharusnya, kita mungkin menyalurkannya ke hal-hal yang seharusnya bisa kita abaikan.

Ada begitu banyak cerita ketika seseorang meninggal dunia, seseorang lainnya yang ditinggalkan akan memikirkan tentangnya. Mereka belum saling memaafkan hanya kerena mereka tidak sempat berbicara dan meminta maaf.

Aku tidak ingin mati seperti itu dan tidak ingin pula hidup seperti itu. 

Maka aku ingin mendatangi sahabatku, ingin memberitahukannya bahwa aku menyesal dan malu. Pada kenyataan bahwa aku pernah memanggilnya dengan beberapa sebutan yang meremehkan, merendahkan harga dirinya, semua itu adalah sesuatu yang akan selalu terngiang-ngiang sepanjang hidupku.

Aku ingin kami bisa mengobrol lebih banyak tentang itu. Sebuah keajaiban dan berkah ketika kami bisa membicarakannya, bisa memperbaikinya, dan menyembuhkannya meski aku menyadari bahwa luka yang kami miliki masing-masing mungkin akan terus ada. Aku berharap dia memaafkanku dalam banyak kesempatan, pun aku sudah memaafkan diriku sendiri dalam banyak kesempatan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline