Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Cerpen: Eksperimen Tanpa Akhir

Diperbarui: 16 Agustus 2024   02:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi eksperimen tanpa akhir | Sumber gambar: Pixabay/sabrinabelle

Pagi dimulai ketika seorang staf rumah sakit jiwa memanggil namaku untuk masuk ke satu ruangan. Ruangan ini penuh dengan segala macam obat dengan bau kimia yang tajam. Perutku mual. Barangkali ikan kecil di dalam stoples di sudut ruangan mengalami hal serupa, bahkan malah lebih parah, karena harus terbiasa mencium bau obat sepanjang waktu.

Seorang perawat kemudian memberiku dua butir pil dan segelas air, lalu menyuruhku untuk segera menelan pil-pil itu di hadapannya.

"Jangan coba-coba sembunyikan obatnya!" katanya dengan suara nyaring. Suaranya tidak nyaman di telinga, seperti pekikan burung gagak milik penyihir hitam yang filmnya pernah kulihat di televisi.

Aku lantas membolak-balikkan lidahku ke atas dan ke bawah, meyakinkannya kalau dua pil itu benar-benar masuk ke kerongkonganku. Perawat itu mengangguk-angguk dan mempersilakanku keluar.

Dengan cepat aku menuju toilet, tentu saja untuk mengeluarkan pil-pil yang sengaja kuselipkan di rongga mulut sebelah kanan. Aku tidak mau menelannya, sebab menurutku, obat ini hanya akan merusak syaraf otak. Pil-pil itu kubuang ke wastafel dan langsung terdorong masuk oleh kucuran deras air keran. Selesainya, aku mencuci tangan dan membasuh muka.

Sebuah cermin menempel di atas wastafel. Aku melihat ke dalam pantulannya, seraut wajah seorang perempuan tiga puluh tahun dengan lingkar hitam di bawah kedua mata, terlihat letih, pucat tak bercahaya, serasa tengah menyimpan kesedihan yang tertahan.

"Tenanglah," ujarku kepadanya, "kamu pasti akan keluar dari sini."

Pada pagi lain, setelah ritual pemberian obat psikotropika yang membuatku ingin muntah, aku meminta izin kepada kepala perawat untuk bisa menemui Dokter Haris.

"Katakan saja, apa keluhanmu?" tanya kepala perawat itu dengan ketus.

"Ini sangat penting. Aku hanya perlu mendiskusikan kondisiku dengan dokter profesional yang menanganiku, tidak dengan yang lain," jawabku tak kalah ketus.

Meski sempat kudengar embusan napas keras dari kepala perawat itu, dia kemudian menyuruh anak buahnya agar mengantarku ke ruangan Dokter Haris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline