Ibu berisik, hampir setiap hari. Aku capek mendengarnya. Saking capeknya, kadang-kadang aku membungkamnya kasar. Ujung-ujungnya, kami bertengkar. Dia merajuk, kepalaku pening.
Seperti suatu pagi, dia berisik dengan racauan panjang ketika aku sedang menyiapkan masakan sebelum berangkat ke kantor. Ibu meracau, seperti tidak bisa menahan diri untuk tidak mengomentari segala hal yang aku lakukan.
"Ikannya jangan terlalu lama dimasak! Bisa hancur nanti. Tidak enak dilihat!"
Begitulah seperti biasa, dia mulai membuatku tidak nyaman.
"Jangan lupa ketumbarnya dimasukkan! Biar gurih. Terus, itu jahenya, jangan ambil yang baru. Potong saja jahe yang sebelumnya. Ya ... taruh sebagian di atas ikan pepesnya, sebagian lagi di dalam kuah. Nah, seperti itu."
Aku diam sejenak, mengambil napas, lalu melepaskannya dengan sekali embusan keras.
"Ingat, gulanya sedikit saja! Aku tidak suka masakan yang terlalu manis. Kau juga jangan sering-sering makan manis. Bisa kena diabetes nanti. Masih muda, kok, sakit. Biar aku saja yang sakit. Sudah tua. Wajarlah."
Dahiku berkeringat, entah karena terkena uap panas dari masakan di atas kompor atau karena ceracauan Ibu---atau karena keduanya. Aku mengelapnya dengan ujung lengan bajuku.
"Apinya kecilkan sedikit. Itu ... itu, jangan seperti itu. Aduh!"
Lama-lama aku terpancing kesal dan serba salah dengan segala ocehannya.