Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Pengaruh Berita Buruk dalam Menciptakan Sindrom Dunia yang Kejam

Diperbarui: 25 Maret 2024   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi berita-berita yang tersaji dari layar ponsel | sumber gambar pixabay.com

Sepasang sahabat, seekor anjing darat dan seekor anjing laut, suatu ketika hendak bersenang-senang dengan melakukan balapan lari di tepi laut. Awalnya, mereka menikmati perlombaan lari tersebut, tetapi lama kelamaan anjing laut mengeluh kalau badannya sakit akibat tergores pasir pantai sehingga tidak dapat berlari lagi. Jadi, yang anjing darat lakukan kemudian, ia mengizinkan anjing laut untuk segera masuk ke air dan mereka pun tetap bisa berlomba selamanya---satu di darat dan satu lagi di air. 

Ketika membaca cerita fabel tersebut, kebanyakan dari kita akan memiliki sentimen yang berbeda-beda. Entah siapa yang disalahkan sejak awal, apakah anjing darat yang terlalu egois atau anjing laut yang begitu bodoh, meski akhirnya keduanya menyadari kalau mereka tidak sepantasnya seperti itu sehingga kemudian menjalani koridor hidup yang sudah ditentukan untuk kebaikan bersama.

Meskipun sekilas tampak seperti dongeng belaka, sebenarnya ada banyak hal yang dapat dipelajari dari cerita awal di atas, seperti persahabatan, kerja sama, dan kesetaraan. 

Dulu, cerita-cerita seperti itu merasuki budaya masyarakat kita sejak kecil hingga tua. Namun, kisah-kisah yang mengajarkan tentang rasa kebersamaan, kini hanya sebatas dongeng anak-anak dan tidak lagi beredar sebagai budaya seiring bertambahnya usia. Dunia telah banyak berubah sejak manusia menjadi sosok individual yang makin hedonisme. 

Jika dulu tugas untuk menyampaikan kebaikan, keterampilan hidup, sejarah, dan informasi lainnya merupakan upaya kolektif yang dilakukan di lingkungan rumah, masyarakat, ataupun sekolah, saat ini semua kewenangan tersebut tampaknya telah diberikan kepada media komersial---seiring globalisasi internet memunculkan media-media daring yang dapat diakses oleh siapa pun. 

Hal tersebut seakan-akan membenarkan adanya anggapan bahwa media komersial tak pelak seperti telah melampaui agama, seni, tradisi lisan, dan bahkan bertindak sebagai mesin penyampaian cerita yang hebat di zaman sekarang, yang artinya, siapa yang menceritakan kisah-kisah tradisi budaya akan dapat mengatur perilaku manusia ke depan. 

Dari situlah letak permasalahan terbesarnya. Semua aplikasi dan situs berita yang berbeda, termasuk juga aplikasi jejaring sosial seperti Twitter (yang sekarang berganti X), You Tube, Facebook, Tik-Tok, akan terus berlomba-lomba menampilkan berbagai informasi yang baik maupun buruk, apalagi rata-rata masyarakat kita cenderung betah memeriksa berita di ponsel berjam-jam dan berkali-kali dalam satu hari.

Pada masa lalu, dibutuhkan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun untuk mendengar kabar dari belahan dunia mana pun. Namun saat ini, kita seolah-olah memiliki segalanya di ujung jari. Berita yang bermunculan silih berganti dan rasanya tidak terhindarkan.

Ironisnya, kecenderungan orang-orang lebih memperhatikan dan mengingat berita-berita negatif daripada berita positif. Hampir setiap hari mereka akan terus menikmati pemberitaan dari media-media yang seolah-olah seragam menampilkan berita terkait kekacauan bangsa, termasuk pemberitaan buruk mengenai instrumen-instrumen yang ada di dalam negeri---katakanlah Indonesia. Mereka pun sepertinya terus-menerus terjebak ke dalam arus informasi negatif di semua platform dan dari setiap outlet berita dengan pesan yang selalu sama. 

Berita buruk yang senantiasa tersaji, sesuatu yang mempermainkan emosi dan menanamkan rasa takut di dalam hati dengan memperingatkan mereka terhadap keadaan yang penuh dengan orang-orang yang ingin merusak, ideologi yang mengancam, dan kejadian tak terduga, dimaksudkan untuk membuat mereka tetap waspada. Namun, apakah dunia ini benar-benar seburuk yang media massa ingin orang-orang yakini atau apakah mereka menderita "sindrom dunia yang kejam"?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline