Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Jangan Menjadikan Ketidakmampuan sebagai Sasaran untuk Membenci Diri Sendiri

Diperbarui: 3 November 2023   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi marah pada diri sendiri. (Dok Freepik via Kompas.com)

Ketika tumbuh dewasa, kita membentuk kerangka normatif tentang diri kita sendiri dan lingkungan. Kerangka kerja ini terdiri dari sejumlah penilaian tentang sesuatu yang kita inginkan dan yang tidak kita inginkan.

Sebagai manusia, kita mungkin tidak menampik bahwa kita telah menciptakan serangkaian kriteria yang harus dipenuhi untuk kehidupan, selain kebutuhan dasar, seperti pangan dan papan. Kriteria ini kemudian menciptakan serangkaian sifat yang mampu membuat seseorang memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

Sebagian orangtua mungkin pernah menuntut anaknya agar dapat memenuhi standardisasi dalam hidup, misalnya, bekerja untuk mendapatkan gaji besar, memiliki rumah besar, mendapatkan pasangan yang diidam-idamkan, serta memiliki keluarga bahagia dan harmonis. 

Ketika belum berhasil memenuhi standar tersebut, apalagi jika melihat keberhasilan orang lain sebagai pembanding, seorang anak tersebut kemungkinan akan merasa tersisihkan sehingga mampu membuatnya rendah diri. Apabila berlangsung lama dan terus-menerus, keadaan ini bisa berujung pada pola kebencian terhadap diri sendiri.

Kebencian bisa datang dari penghakiman

Kita mungkin telah membuat daftar tuntutan pribadi yang harus dipenuhi untuk membuat kita mencintai diri sendiri. Namun, ketika gagal memenuhi tuntutan ini, kita lantas menjadi tidak puas dan akhirnya mulai timbul kebencian---sekalipun terdapat faktor eksternal yang memengaruhi dan kita tidak dapat mengendalikan hasilnya.

Orang bijak akan mengatakan bahwa bukan peristiwa yang mengganggu kita, melainkan posisi kitalah ketika menyikapi peristiwa tersebut---yang dalam hal ini adalah posisi kebencian.

Fakta bahwa kita belum dapat memenuhi tuntutan keinginan bukanlah hal intrinsik yang mendasar, apalagi terkait baik atau buruk. Penilaian ini terkadang hanya sebuah pendapat. 

Maksudnya, ketika kita pada masa lalu belum berhasil atas suatu usaha dan kita terlanjur menilainya sebagai sesuatu yang buruk, bisa jadi pada masa-masa ke depan, hal tersebut justru membuat kita menilainya dari sudut pandang lain bahwa hal itu adalah baik. Jadi, penilaian kita bisa saja berubah dan fakta itu bisa jadi membuat orang-orang yang menilainya juga berubah.

Mungkin kita membenci diri sendiri karena tindakan atau kelambanan kita di masa lalu. Beberapa tindakan memang menyebalkan, seperti kita sengaja tidak melakukan satu kegiatan apa pun atau melakukan sabotase diri sendiri. 

Dalam kasus tertentu, penilaian negatif---atau setidaknya kita menilainya secara buruk---sebenarnya justru sangat membantu kita mengarahkan diri ke jalur yang benar dan sebagaimana yang kita inginkan.

Maka kita seharusnya sadar bahwa menyalahkan diri sendiri tidak akan membantu kita mencapai tingkat kepuasan minimum sekalipun. Menyalahkan kelemahan yang didasarkan pada pemikiran yang tidak rasional justru akan sangat berbahaya. Jadi, sebaiknya, kita mulai melihat potensi diri kita yang mungkin belum tergali secara optimal.

Bersyukur adalah cara terbaik

Begitu mengetahui bahwa penilaian buruk mampu menciptakan kebencian terhadap diri sendiri, sekarang saatnya kita mengubah perspektif kita. Mencoba bersyukur dan berfokus pada apa yang benar-benar hebat dalam hidup kita adalah cara yang lebih efektif untuk mengurangi ketidakpuasan kita dan menghilangkan beban "menginginkan lebih" dan "tidak cukup" dari pundak kita.

Kebencian terhadap diri sendiri pada dasarnya merupakan bentuk ketidakpuasan yang ekstrem dan destruktif. Seharusnya kita menyadari bahwa ketika melepaskan "kebutuhan" ini, kita dapat melihat semua hal baik dalam hidup dan bahwa sebenarnya kebutuhan kita jauh lebih sedikit daripada yang dipikirkan oleh pikiran kita.

Kita semua tentu percaya bahwa kebahagiaan adalah tujuan utama keberadaan manusia, tetapi untuk menjadi bahagia, kita perlu menghargai kesenangan lain dalam hidup yang sering kita anggap kecil.

Pelajaran lain, kita sering melupakan bahwa apa yang membuat kita tidak puas di masa sekarang, malah pernah sangat kita inginkan pada masa lalu. Secara umum, seharusnya kita sering melihat apa yang kita miliki dan menyadari kalau kita tidak punya alasan untuk mengeluh sehingga tidak ada alasan untuk membenci diri kita sendiri. Meskipun kita belum mencapai banyak hal, mungkin masih ada hal-hal yang kita sukai dari diri kita.

Menghargai sisi lain

Ilustrasi seseorang yang membenci dirinya sendiri| sumber gambar semanasantabaena.com

Apa yang kita anggap buruk atau negatif sering kali datang sebagai berkah terselubung. Pelajaran religius pun telah menunjukkan kepada kita bahwa selalu ada kesatuan dalam dualitas: baik dan buruk. 

Saat sibuk membenci diri sendiri, terkadang kita buta terhadap kebaikannya karena kita terlalu berfokus melihat sisi negatif dari situasi tersebut, padahal keburukan pun selalu ada hikmahnya.

Pola pikir ini tentu harus kita terapkan di dalam kehidupan. Misalnya, saat merasa kesepian, maka kita bisa melihat "kesendirian" itu sebagai peluang untuk menjadi lebih produktif. 

Hal-hal yang tidak kita sukai dari diri kita pun juga merupakan peluang untuk melakukan perubahan. Ini akan mengubah kebencian pada diri sendiri menjadi sebuah sudut pandang yang dapat menghasilkan cara lebih sehat untuk menghadapi momentum saat itu.

Sudah saatnya kita keluar dari spiral negatif dan berupayalah semampu yang kita bisa---tidak masalah kita membutuhka waktu ekstra. Pada akhirnya itulah yang kita inginkan: Kita ingin berkembang walaupun mungkin terdengar kontraproduktif.

Menciptakan ruang untuk diri sendiri

Satu hal yang harus kita sadari bahwa meskipun kita dapat mengubah pikiran kita dalam beberapa detik, tetapi tubuh dan emosional kita sering kali menghambat perubahan itu sehingga pada gilirannya hal itu akan mempengaruhi pikiran kita kembali.

Mungkin tubuh kita masih terpengaruh oleh hal-hal negatif yang berarti menciptakan perasaan yang tidak enak, itu tidak masalah. Pada titiknya nanti perasaan itu akan menjadi baik untuk diri kita sendiri. 

Kita tidak hanya mengizinkan dan menerima diri kita sepenuhnya, tetapi juga dapat memperlakukan diri kita dengan baik dan mengakomodasinya menjadi kita yang apa adanya---terkait mencintai diri sendiri.

Secara paradoks, makin kita menciptakan ruang bagi diri kita sendiri untuk merasa sengsara, makin cepat kita ingin keluar dari kesengsaraan di pikiran kita. Seperti menunggangi kuda, tidaklah penting seberapa sering kita terjatuh, selama kita bangkit kembali, itu akan menjadikan diri kita jauh lebih baik.

Mengambil tindakan atas keadaan hidup yang tidak kita inginkan akan sangat penting untuk menghindari lingkaran kesulitannya. Ketika kita kehilangan akal saat kebencian terhadap diri sendiri dimulai, itu malah memungkinkan energi mengalir secara sia-sia.

Satu hal yang sangat penting adalah mengikuti jalan orang-orang bijaksana. Jalan demikian akan mampu membawa kita mengetahui bahwa kita merasa jauh lebih baik ketika kita tidak terjebak ke dalam banyak hal yang hanya menjadi keinginan kita belaka. 

Ketika kita terjebak ke dalam keadaan yang tidak kita inginkan dan menyibukkan diri terhadap kegagalan terus-menerus, kita selanjutnya akan cenderung merasionalisasi setiap bentuk tindakan sehingga kita akan berpikir bahwa semua itu tidak ada gunanya.

Jadi, jangan jadikan ketidakmampuan kita sebagai sasaran untuk membenci diri kita sendiri. Sebaiknya, kita melakukan perbaikan sesuai kemampuan kita sendiri sehingga itu akan membuat kita lebih mempunyai nilai diri. 

Saat kita terlibat dengan kehidupan-atau dengan kata lain, saat kita berkembang--kita tidak mempunyai waktu lagi untuk membenci diri sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline