Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Ketika Hidup Tidak Selalu Mengandalkan "Kekuatan"

Diperbarui: 1 Februari 2023   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi seseorang menjinakkan harimau tanpa "kekuatan" |by pixabay

Umumnya, orang-orang mengagumi "kekuatan" dan merendahkan "kelemahan". Kebanyakan dari kita mengasosiasikan kekuatan dengan sikap yang tegas, energik, dan kokoh. Kekuatan memungkinkan kita mencapai hal-hal yang dianggap mampu untuk melawan kesulitan, tidak terpengaruh oleh dunia sekitar, serta bersifat asertif, sehingga memberi tempat yang dianggap menarik dan patut dipuji. Dengan demikian, banyak orang lalu yang bercita-cita menjadi pilar kekuatan yang tak terpatahkan.

Kelemahan, di sisi lain, kita cenderung mengasosiasikannya dengan ketidakmampuan, kerapuhan, dan ketidakberdayaan. Kelemahan tidak membawa kita kemana-mana sehingga menganggapnya tidak menarik dan berusaha untuk menghindarinya, bahkan kita cenderung berupaya menyembunyikan kelemahan yang kita miliki karena tidak ingin diketahui oleh orang lain.

Sebenarnya, tidak semua kelemahan itu buruk. Ada banyak hal yang dianggap sebuah kelemahan, nyatanya memiliki denotasi (positif). Kelemahan tidak serta merta menyiratkan sesuatu yang payah, tetapi justru bisa menjadi sebuah senjata untuk mengalahkan kekuatan jika digunakan dengan cara yang benar.

Kekuatan tidak selalu menjadi jawaban dalam banyak situasi. Banyak hal-hal yang harus ditempuh ketika dalam posisi yang seharusnya membutuhkan salah satu sisi kelemahan, yaitu berupa kelembutan, seperti, kita lebih baik mengalah daripada berkelahi, menyesuaikan diri daripada menentang, dan tunduk daripada mendominasi.

Sebuah kisah berikut merupakan penyiratan bagaimana kelembutan dari kelemahan bisa mendominasi kekuatan.

Dahulu kala, ada seorang raja yang hanya memperkerjakan orang-orang kuat dan pemberani. Sang Raja percaya bahwa orang-orang itulah yang paling mampu melindunginya. Suatu hari seorang filsuf berkunjung. Filsuf tersebut menyampaikan sebuah argumennya kepada raja bahwa orang-orang yang dianggap lemah, meski takut, mereka masih berharap untuk menyakiti raja.

Maka katanya, "Tuan raja, hanya karena orang tidak ingin menyakiti, bukan berarti mereka akan menghormati atau mencintai Anda. Namun, ada strategi yang lebih baik yang membuat orang tidak ingin menyakiti Anda sama sekali, bahkan bisa membuat orang-orang tidak berani menyerang Anda sejak awal."

"Apakah strategi ini lebih baik dari sekadar kekuatan dan keberanian?"

Filsuf mengangguk. Raja menjadi sangat antusias ketika Sang Filsuf menyarankan kepadanya untuk lebih baik memerintah dengan kebajikan dan intregritas daripada mengandalkan kekuatan militernya. Jadi, dengan bersikap baik dan lembut kepada orang-orang, raja menjadi lebih dicintai dan dihormati daripada ditakuti, dan popularitasnya akan melampaui banyak orang bijak. Dalam posisi seperti itu, kemungkinan besar raja tidak perlu lagi menyewa orang kuat untuk mempertahahankannya dengan kekuatan karena pada akhirnya akan sangat sedikit orang-orang yang ingin menyerangnya. Raja pun tertarik dan mengangguk setuju dengan gagasan yang telah disampaikan Sang Filsuf tersebut.

Kita kemudian bisa membandingkannya dengan tipe pemimpin yang memerintah menggunakan intimidasi dan ketakutan. Meskipun mungkin berhasil melindungi dirinya sendiri dan posisinya sebagai seorang pemimpin, pemimpin tersebut akan terus menerus menarik banyak pertentangan. Orang-orang akan membencinya dan mencoba menyerangnya sehingga dia perlu meningkatkan kekuatannya untuk melindungi dirinya sendiri.  Yang terjadi kemudian, pemimpin seperti itu akan terjebak ke dalam lingkaran setan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline