Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Fenomena Cinta, Bagaimanakah Kita Memandangnya?

Diperbarui: 22 Oktober 2022   14:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kebahagiaan pasangan yang sedang jatuh cinta. (sumber: pixabay.com/Karen Warfel)

Siapa pun yang pernah jatuh cinta akan sepakat bahwa mengalaminya adalah salah satu pengalaman paling euforia yang dimiliki manusia. 

Seringkali, pengalaman tersebut membuat seseorang seolah-olah melemparkan logikanya jauh-jauh karena orang yang dia inginkan bak telah memikat setiap sel di tubuhnya dan tidak ada yang dia inginkan selain bersama orang tersebut.

Jika demikian, apakah jatuh cinta bisa menimbulkan semacam kegilaan jiwa? Kemungkinan, bisa. Nah, ini berbahaya sekaligus mengasyikan sebab kegilaaan itu sendiri tidak dapat diprediksi. Ketika seseorang benar-benar terpengaruh oleh banyak kegilaan, tentu saja itu di luar kendalinya.

Tentang jatuh cinta, fenomenanya membuat siapa pun terpesona, termasuk para filsuf sepanjang zaman, salah satunya adalah seorang filsuf Denmark dari abad ke-19, Soren Kierkegaard. 

Dia kemudian menggagas ide filosofi tentang jatuh cinta dengan membedakan jenis cinta berdasarkan pengalamannya dan menyimpulkannya menjadi dua, yaitu cinta prefensial dan nonprefensial.

Menurut Kierkegaard, cinta prefensial merupakan bentuk cinta yang penuh gairah. Cinta jenis ini mengatakan lebih banyak tentang segala hal yang membuat seseorang tertarik dan bagaimana obyek keinginannya memuaskan hasrat kebutuhannya. 

Ketika jatuh cinta, tentu saja seseorang memiliki ketertarikan terhadap obyek atau penerima cinta karena dianggap memiliki kemampuan membangkitkan rasa senang dalam dirinya. 

Bahwa kesenangan yang tidak terlahir dari subyek pemberi cinta itu sendiri, maka fenomena yang terjadi, seringkali orang yang mengalami cinta prefensial ini akan berkorban untuk kebahagiaan orang yang dicintainya tersebut.

Berbeda dengan cinta prefensial, Kierkegaard menyatakan bahwa cinta nonprefensial justru tidak didorong oleh gairah, bersifat non-erotis, dan tidak egois karena merupakan sumber yang tidak terbatas dan dapat diberikan oleh siapa pun tanpa henti. 

Kierkegaard juga menggambarkan jenis cinta nonprefensial ini sebagai cinta sejati yang dimiliki seseorang kepada sesama, tidak peduli kepada siapa pun, bahkan kepada orang yang tidak disukai sekalipun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline