Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Tanggung Jawab di Balik Pemberitahuan Akun Terverifikasi

Diperbarui: 5 Oktober 2022   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi akun terverivikasi| koleksi pribadi

"Menulis adalah mencipta. Dalam suatu penciptaan, seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi dia menyertakan juga seluruh jiwa dan napas hidupnya"---Stephen King. 

Pada bulan bahasa ini, tepatnya tanggal 4 Oktober 2022, bonus yang saya dapatkan dari hasil kegiatan menulis di Kompasiana dalam kurun waktu dua tahun ini adalah tercentang birunya atau terverifikasinya akun saya. Walaupun bukan merupakan target saya, notifikasi pemberitahuan tersebut tentu saja membuat saya gembira. Namun, selain rasa kegembiraan, ternyata ada perasaan lain yang menyelinap di rongga hati saya, yakni rasa "was-was". Nah, mengapa bisa demikian?

Saya memulai debut menulis di Kompasiana tanggal 22 September 2020---masih Taruna. Berbeda dengan kompasianer lainnya, baik akun-akun bercentang hijau maupun biru, yang rata-rata menelurkan tulisannya dengan jumlah ratusan, bahkan ribuan, saya justru termasuk yang kurang produktif di kompasiana---dan itu jelas terlihat dari jumlah tulisan saya di blog bersama ini yang hanya terbilang puluhan saja. Ya, saya mengakui itu.

Akan tetapi, meski mengakui hal tersebut, saya juga hendak berbagi sedikit pandangan bahwa yang sebenarnya hendak saya capai dalam menulis adalah kualitas, bukan kuantitas. Hal itu saya upayakan sungguh-sungguh, misalnya, bagaimana selama ini saya masih bergelut dengan pembelajaran tentang penulisan yang baik dan benar---tentu saja sesuai aturan penulisan Bahasa Indonesia, EYD, PUEBI, dan lainnya---, bagaimana mencari tema tulisan yang sesuai dengan apa yang saya minati (syukur-syukur memberikan impact atau pengaruh terhadap pembaca), bagaimana saya harus bergulat dengan pendapat sendiri mengenai pantas atau tidaknya tulisan saya dipublikasikan (jangan sampai menjadi polemik dan malah berimbas buruk ke diri saya sendiri), dan lain sebagainya.

Sebagian mungkin akan mentertawakan saya, "Kok, sampai sebegitunya, sih? Menulis, ya, menulis saja. Ribet amat." Namun, ya, inilah saya, telepas setuju atau tidak, meski tulisan yang saya hasilkan tidak serta merta menjadikannya langsung sempurna, setidaknya saya mencoba mengusung nilai edukasi, salah satunya tentang cara penulisan itu sendiri. 

Dari banyak tulisan yang saya baca, khususnya di kompasiana ini, khususnya juga tulisan dari akun bercentang biru, ketika menulis, beberapa dari mereka seperti mengabaikan sisi bahasa tulisan yang baik: aturan tanda baca, sintaksis, kata baku, dan lain-lain. Mungkin, yang melatarbelakangi sebagian penulis mengabaikannya adalah adanya anggapan bahwa menerapkan aturan-aturan penulisan tersebut justru kian membatasi kreativitas menulis dan bahwa menulis dengan bebas adalah hak bagi penulis, tanpa dibatasi aturan yang memusingkan kepala. Namun, bukankah menulis dengan kekacauan penulisan justru merupakan ketidakhormatan kita terhadap Bahasa Indonesia---yang telah digaungkan oleh para pemuda di salah satu teks Sumpah Pemuda---dan kurang menghargainya kita terhadap guru-guru yang telah bersusah payah mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia sejak sekolah dasar? Baiklah, semua kembali ke diri masing-masing sebab pemikiran seseorang tidak bisa kita tentang meski berbeda.

Kembali ke terverivikasinya akun saya. Meski "was-was", hal ini justru membuat saya menjadi lebih ingin bertanggung jawab. Pertanggungjawaban itu bukan hanya terhadap isi tulisan, melainkan juga terhadap apresiasi yang telah Kompasiana berikan kepada saya.

Jujur, bagi saya, menulis adalah hobi. Menurut saya, menulis merupakan pelepasan ide-ide kepala yang tidak bisa kita ucapkan secara langsung. Menulis juga merupakan terapi untuk bahagia, seperti quotesnya Graham Grenee, penulis Inggris, yang mengatakan, "Menulis adalah suatu bentuk terapi; kadang-kadang saya bertanya-tanya bagaimana semua orang yang tidak menulis, mengarang, atau melukis, dapat keluar dari kegilaan kegilaan, melankolis, kepanikan, dan ketakutan yang melekat pada kondisi manusia."

Meski akhirnya saya mengakui adanya rasa malas yang kadang-kadang menganggu, atau juga perkara waktu yang tentu saja saya harus membaginya dengan kegiatan lain---ini terdengar seperti alasan klise sebab banyak penulis yang nyatanya lebih sibuk dari saya ketika melakukan kegiatan lain, tetapi masih bisa produktif menulis---, saya akan terus konsisten menulis tentang apa yang saya sukai tanpa adanya batasan untuk itu.

Terima kasih Kompasiana akan "warning"nya dan terima kasih para pembaca, terutama teman-teman sesama kompasioner.

--Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan--




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline