Meskipun kita mungkin tidak banyak mengungkit atau pun mengingat hal ini, terutama di waktu kecil, hati kecil kita cenderung berharap bahwa pada suatu saat kita mampu meraih kesempurnaan dalam beberapa bidang.
Dulu, kita bermimpi bahwa suatu hari kita akan mendapatkan hubungan cinta yang ideal dan harmonis, pekerjaan yang memuaskan, keluarga yang bahagia, dan penghormatan dari orang lain.
Namun, hidup ternyata mempunyai caranya sendiri untuk membuat kita menderita, bahkan mungkin tidak menyisakan apa pun dari mimpi-mimpi indah itu, kecuali beberapa fragmen yang pecah dan tidak bernilai sama sekali; hubungan cinta yang kandas; pekerjaan yang buruk; keluarga yang hancur; atau perlakuan orang lain yang kurang menyenangkan.
Trauma masa lalu pada dasarnya ingin memberi jalan ke waktu yang lebih baik, tetapi itu dilakukan hanya dengan berpura pura lupa bahwa saat-saat buruk tersebut tidak pernah terjadi.
Pada momen inilah kita dapat memusatkan pikiran kita pada sebuah konsep yang diambil dari filosofi Jepang yang berlaku berabad-abad—khususnya pendekatan seorang Budhis, Zen, terhadap keramik—yaitu sebuah pengembangan argumen bahwa kuali, gelas, dan mangkuk yang telah rusak tidak seharusnya diabaikan atau lantas dibuang begitu saja. Benda-benda itu harus terus mendapat perhatian dan diperbaiki dengan ketelitian tinggi.
Proses ini menyimbolkan rekonsiliasi atau pemulihan hubungan dengan aliran dan kesengsaraan yang terjadi seiring waktu. Tradisi rekonsiliasi ini menggambarkan kembali tema-tema fundamental dalam Zen.
Tradisi perbaikan keramik ini dikenal dengan istilah “kintsugi”—kin berarti emas; tsugi berarti menyambungkan. Secara literal artinya adalah meyambungkan dengan emas”
Dalam estetika Zen, potongan-potongan kuali yang dipecahkan secara tidak sengaja harus diambil, ditata, dan digabung kembali dengan lak (perekat keras dari damar merah atau hitam), lalu dicampur dengan bubuk emas yang paling mahal.
Keretakannya pun tidak boleh ditutup-tutupi. Ini bertujuan untuk mengubah kesan garis rusak itu menjadi indah dan kuat. Urat-urat emas yang berharga ditampilkan untuk menunjukkan bahwa keretakan atau kerusakan itu punya makna filosofis tersendiri.
Berdasarkan sejarah, asal muasal kintsugi sendiri diperkirakan bermula pada periode Muromachi. Ketika itu Shogun Jepang, Ashikaga Yoshimitsu (masa pemerintahan 1358-1408), merusak mangkuk teh kesukaannya.