Lihat ke Halaman Asli

S Eleftheria

TERVERIFIKASI

Penikmat Literasi

Konsep Child Free Mengoyak Kegigihan Para Pejuang Dua Garis

Diperbarui: 31 Agustus 2021   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pasangan yang memutuskan child free by pixabay

Sebuah statement kontroversial disuarakan Gita Savitri baru-baru ini ramai menuai polemik pro dan kontra. Saya tidak akan mengulas keputusan Youtuber tersebut terkait ucapannya tentang ketidakinginan memiliki anak---child free---kendati dia telah berumah tangga. 

Biarlah, itu hak dia dan pasangannya. Hanya, ketika keputusannya itu disampaikan ke ranah publik, setuju atau tidak, pemikiran tersebut secara praktis menuai kericuhan khalayak ramai karena bisa memberikan impact atau pengaruh pemikiran kepada pasangan muda lainnya.   

Di Indonesia, istilah child free sendiri masih terkesan tabu. Berbeda dengan masyarakat di luar negeri yang sudah lama mengenal istilah ini, kultur masyarakat kita---yang sebagian besar masih berpegang erat pada norma dan budaya kolektif---akan memberikan stigma negatif terhadap pelaku child free. 

Menurut masyarakat yang kontra, penolakan atas kehadiran buah hati dianggap sebagai suatu pembangkangan terhadap nilai-nilai agama dan norma-norma sosial. 

Memiliki anak justru merupakan sesuatu yang sudah pakem dari pasangan suami istri. Maka itu, ketika keputusan child free didengungkan oleh mereka yang setuju, konsep itu lantas dianggap oleh mereka yang kontra sebagai konsep aneh dan jelas menyalahi fitrah diri sebagai manusia. Bukankah gambaran konsep rumah tangga ideal itu terdiri atas bapak, ibu, dan anak?

Para pendukung child free tentu lebih mudah menerima berbagai faktor alasan yang diutarakan pelaku konsep ini---mulai dari faktor ekonomi, sosial, bahkan psikologi. 

Berbagai alasan yang kerap diungkapkan mereka, salah satunya yaitu adanya kekhawatiran akan kondisi masa depan perekonomian dunia sehingga memicu rasa takut dalam hal memenuhi kebutuhan hidup sang anak kelak. 

Kemungkinan alasan lainnya yaitu adanya pengalaman traumatis di masa kecil sehingga mereka khawatir tidak akan bisa menjadi orang tua yang baik, apalagi di era yang sangat riskan ini.

Jika beberapa alasan menyebabkan pasangan suami istri itu akhirnya menyepakati keputusan child free, lantas bagaimanakah kita melihat fenomena ini dari sisi pasangan suami istri lainnya yang pada kenyataannya justru harus berjuang gigih agar bisa memiliki seorang buah hati?

Konsep child free olah-olah menorehkan luka kepada para pejuang dua garis (baca: tanda positif kehamilan). Bayangkan, disaat sebagian pasangan suami istri berjuang keras agar bisa memiliki anak, sebagian lainnya malah menolak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline