Berangkat dari rumah sekitar jam setengah tujuh pagi, dengan harapan tiba di kantor jam setengah delapan. Biasanya, dengan rentang waktu demikian aku sudah tiba di kantor 30 menit sebelum jam kerja dimulai. Toh, jarak dari rumah ke kantor tak sampai 10 KM. Harapan tinggal harapan. Untung tak dapat diraih. Jalanan yang kulewati MACET TOTAL !!! Alamat uang makan hari ini hilang.
Jam 8. Aku masih terperangkap kemacetan di Jl.By Pass, depan depo PERTAMINA Plumpang. Di dalam angkot dengan pancuran sinar matahari pagi yang membuatku bermandikan peluh. Buku Tipping Point karya Malcolm Gladwell setebal 340 halaman yang sedang kubaca, telah kehilangan magnetnya. Padahal, selama 45 menit sebelumnya telah mampu membenamkan pikiranku. Tak memedulikan kemacetan di sekitar. Tapi kini, rasa gerah dan kenyataan terlambat ke kantor, membuatku resah. Kumasukkan buku tersebut ke dalam tas. Kemacetan parah.
Di sekitar pintu keluar-masuk PERTAMINA (pintu 2, kalau tak salah) ada kecelakaan lalu-lintas, rupanya. Angkot yang kutumpangi melintas pas di samping TKP. Dengan jelas kulihat darah dan serpihan daging di aspal jalanan, tak ada lagi jenazahnya. Motor dan trailer yang mengalami kecelakaan juga sudah tak ada di TKP. Hanya sejumlah polisi yang sedang menutupi TKP dengan koran. Tubuh korban hancur, dan sudah dibawa oleh ambulans. Menurut seseorang dari TKP yang naik ke angkot yang kutumpangi, kejadiannya sekitar jam setengah 6 pagi. Pengendara motor adalah karyawan Daihatsu, tubuhnya hancur tergilas trailer bercontainer. Innalillahi wa innailaihi rojiun.
Padahal, beberapa menit lalu. Aku sedang menimbang-nimbang mau membeli motor apa, ya ? Sambil memperhatikan aneka jenis motor yang terjebak kemacetan bersamaku. Yah, inilah resiko berkendara di jalan raya yang banyak trailer bercontainer dan mobil tangki. Beberapa tahun lalu, tetanggaku pun ada yang meninggal karena tertabrak mobil tangki di sekitar TKP tadi. Bahkan, minggu lalu juga ada pengendara motor yang tertabrak Metro Mini di lokasi yang sama. Jaman SMA pun, ada 3 orang kakak kelas yang tewas bersama, tertabrak trailer bercontainer. Maklum, SMA-ku dekat Jl.Cacing (Cakung-Cilincing), yang ramai dilintasi trailer-trailer. Ada pula seorang rekanku yang meninggal karena kendaraan yang ditumpanginya tertimpa container yang terguling. Beberapa bulan lalu, ada juga kejadian mengenaskan yang terjadi di lampu merah Permai. Katanya, ada sekitar 7-9 orang yang tertabrak mobil truk atau trailer yang remnya blong (nggak tau pastinya, sih) dari arah belakang. Padahal, lampu lalu-lintas sudah merah. Para korban adalah pengendara motor yang sudah berhenti di barisan depan. Mereka terseruduk mobil tersebut. Dengar-dengar, ada yang meninggal dan ada yang kakinya putus. Menyeramkan.
Mungkin nggak ya, untuk kendaraan besar dan berat seperti trailer dan mobil tangki diberi jalur khusus ? Atau pemukiman penduduk yang harus dijauhkan dari lintasan mobil-mobil itu ? Ah, pasti ahlinya lebih tahu . . . .
Kejadian ini takkan menyurutkan rencanaku untuk membeli motor. Karena dengan motorlah, para pekerja seperti diriku bisa mengakali kemacetan yang ada. Daripada menunggu solusi yang tak kunjung datang dari sang ahli, atas permasalahan kemacetan di ibukota. Mencoba berangkat lebih pagi pun, masih terjebak macet ! Naik ojek tiap hari ? Tekor, nek ! Naik angkutan umum, telat ! Karena telat, nggak dapat uang makan. Nasib ya nasib.
sumber gambar : dari sini [caption id="attachment_246877" align="aligncenter" width="450" caption="Maaf, bukan foto dari TKP (pinjam dari google)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H