Lihat ke Halaman Asli

Metro Metropolitan

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tengah hari bolong, seperti donat yang bolong. Sebolong kantong yang ditodong di siang bolong. Bukan serigala yang melolong. Sekedar curhat colong(an).

Di terik panas siang hari ini. Jarum panjang di jam tanganku baru saja beringsut ke angka 3. Kulangkahkan kaki keluar kantor, pulang. Berteduh di bawah pohon Bintaro di pinggir jalan, demi menunggu angkutan. Metro Mini 24 jurusan Senen – Priok. Cukup lama menunggu, akhirnya melintaslah yang ditunggu-tunggu. Dengan sigap kumelompat ke dalamnya.

Ya, ini angkutan umum, bukan mobil pribadi. Jangan berharap diperlakukan bak Puteri Raja. Metro Mini bukan kereta kencana, yang sudi berhenti lama untuk menunggu penumpangnya naik dengan sempurna. Kejar setoran, dalih yang klise. Membuat sopirnya mengemudi bak orang kesetanan, tak hirau keselamatan. Mungkin lupa, bahwa yang dibawa adalah orang, bukannya barang. Yang dengan seenaknya dinaikkan dan diturunkan. Tak peduli henti di tengah jalan.

Kadang kuberasumsi, mungkin di mata si sopir dan kondekturnya : seorang penumpang terlihat seperti selembar uang 2.000 yang berkaki, tak lebih.

Tadi, aku benar-benar jengkel. Baru saja kuangsurkan selembar uang 2.000, dan Metro pun baru meluncur sekitar 300 meter. Tau-tau kami para penumpang yang hanya ada 3 orang dioper ke Metro yang sedang ngetem di situ. Oke, kami pun turun. Aku yang turun dari pintu belakang, pas berhadapan dengan bagian depan Metro yang ngetem itu. Aku bermaksud melintas di depan Metro itu, ingin naik dari pintu depan. Eh eh, Metro itu malah maju, sedangkan Metro yang menurunkan kami tadi masih diam. Hampir saja aku kegencet di antaranya, jika tak segera mundur dan memilih menyusuri dari samping badan Metro untuk naik dari pintu belakangnya. Uhm, ada gelagat tak baik dari sopir Metro yang ngetem ini, pikirku. Benar saja, begitu Metro yang ngetem ini mulai bergerak, si kondektur menagih uang padaku. Kubilang bahwa aku operan dari Metro tadi.

Dia berkeras dengan nada tinggi, “Siapa suruh naik Metro itu . . . bukan yang ini, ayo bayar !”. (Yee . . . nyolot banget nih kenek gayanya. Lah aku naik dari mana, dia ngetem di mana ? Gak nyambung, jek. Kalau aku bisa baca pikiran sopir yang tadi, mana mau aku naik Metronya. Emangnya aku ini paranormal ? Udah lama buka praktek dunk aye, kalo bisa baca pikiran orang).

Aku pun tetap berkeras tak mau bayar, karena biasanya mereka yang suka oper-operan ini sudah punya perjanjian di titik mana ngoper penumpang dan mereka biasanya berteman. Atau yang mengoper memberi persenan uang ke si penerima operan. Jadi, penumpang operan tak perlu bayar lagi. Mana kutau kalau kali ini, Metro yang mengoper kami tidak membayar ke Metro tempat mengopernya ini. Sudah kabur begitu saja. Keterlaluan !

Si kondektur masih meminta ongkos dariku. Terlanjur dongkol, aku minta turun saja. Kuputuskan menyeberang jalan, naik Kopaja ke arah berlawanan. Kembali ke arah kantor. Masa bodo harus banyak berganti angkot nantinya, karena memilih jalur yang di seberang ini. Aku sudah kesal dengan Metro Mini 24.

Mencoba mengendalikan amarah, di bawah pancuran terik matahari siang, agak susah yah. Berdiri di pinggir jalan berdebu selama 15 menit, menunggu Kopaja. Tiada peneduh, sedangkan hati sedang keruh. Butuh yang teduh-teduh. U-ugh . . .

Bukan sekali dua kali acara oper-operan di jalur yang tadi. Sering banget ! Dan aku bukan penumpang yang diam saja diambil haknya, setelah kewajibanku membayar ongkos kutunaikan. Sering aku bersuara lantang melawan sopir dan kondektur yang seenaknya balik arah, lalu menurunkan penumpang di tengah jalan. Aku kadang heran, kenapa penumpang yang jumlahnya banyak mau saja dioper ke Metro lain. Tak ada yang protes. Takut sama sopir dan kondektur yang galak ? Yang benar saja, mereka cuma berdua. Nah, pas begitu aku langsung bersuara : “Jangan mau ! Kita kan banyak orang, ngapain dioper ke mobil lain yang sudah penuh itu.” Baru deh, pada mengiyakan. Yah, kadang sukses, kadang nggak juga. Ada yang tetep ngeloyor pindah ke Metro yang ditunjuk, jadi ada yang ragu untuk pindah atau tidak. Payah payah. Mau aja dijajah sopir dan kondekturnya.

Kasus lain. Diturunkan di tengah jalan, trus uang dikembalikan separuhnya—seribu rupiah. Ini juga tak bisa kuterima. Karena yang udah-udah, mana mau Metro berikutnya dibayar cuma seribu. Ada kondektur yang ngotot bilang pasti mau, aku pun ngotot balik. Dan nantangin dia, “Kalau mau balik arah, balikin dua ribu atau mending oper kami ke Metro lain !” Agak alot, tapi berhasil. Dengan wajah geram, si kondektur mengembalikan uang dua ribu kami. Bener-bener harus adu mulut. Beuh.

Kembali ke peristiwa siang ini. Bukan masalah hilang duit 2.000 tadi. Tapi cara hilangnya itu loh. Penodongan di siang bolong. Penodaan hak penumpang, setelah sopir dan kondekturnya mengambil hak mereka tanpa memberikan kewajibannya yaitu mengantarkan penumpang sampai ke tujuan. Yang begini ini diharapkan untuk melayani kebutuhan publik bermobilisasi ? Mengharapkan warga untuk menggunakan angkutan umum ketimbang kendaraan pribadi. Hahahaaa . . . aku yang selama ini setia sebagai pengguna angkutan umum, kok tiba-tiba jadi merasa perlu untuk beli motor saja yah ?

 

Selama ini pertimbanganku menggunakan angkutan umum :

1.Jarak rumah ke kantor relatif dekat. Tak perlulah nambah-nambahin polusi udara dengan asap knalpot dari motorku, nambah-nambahin polusi suara yang entah berapa desibel dari suara klakson karena berebut jalan, nambah-nambahin sesak jalanan dengan keberadaan motorku. Tak perlu oh tak perlu, jalanan Jakarta sudah dipadati kendaraan.

2.Naik angkutan umum bisa lebih relaks, bisa baca buku, bisa tidur kalo macet.

3.Khawatir naik motor di daerah Priok tuh resikonya besar, saingannya trailer bercontainer.

4.Aku terlampau hati-hati, yang ada nanti karena banyak pertimbangan mau nyalip jalan atau nggak ? malah bikin kagok pengendara lain. Berabe buat diriku dan orang lain kan ? Karena hidupku bukan milikku seorang, ada kepentingan keluargaku dan orang lain dari hayat yang dikandung badan ini. Begitu pula dengan hidup orang-orang lain itu, bukan ?

 

Tapi kok, sekarang merasa perlu punya motor ya ? Alasannya :

1.Sudah capek adu mulut ama kenek Metro Mini, gara-gara suka ngoper penumpang seenaknya. (Ayah mengingatkan, awas nanti ditandai oleh mereka loh ?!).

2.Sudah capek hampir telat mulu tiba di kantor, gara-gara angkot yang kutumpangi sering ngetem di tiap ujung gang, di tiap perempatan jalan, di depan pasar. Gara-gara terlampau banyak armada, tapi calon penumpangnya sedikit. Banyak yang naik motor, sih. Ditambah kemacetan di pagi hari. Akhirnya, waktu tempuh dari rumah ke kantor jadi susah diprediksi.

3.Nguras kantong, karena jadi sering naik ojek untuk menghindari telat sampai di kantor. Tak ingin allowance bulanan hilang, gara-gara telat sekian menit dalam sebulan. Bisa merusak mata pencaharian kan ?

4.Kadang di bus ada pengamen atau penyair jalanan yang menyeramkan, pake ngomong baru keluar dari tahananlah, bahkan ada yang bangga nunjukin “ijazah”nya. Dengan suara serak, penampilan “ajaib”. Benar-benar mengintimidasi kenyamanan pengguna angkutan umum.

5.Resiko kecopetan, kena gundam, dsb.

6.Menunjang hobi jalan. Bisa keliling kota, cuy !

Sepertinya emang harus beli motor, nih.

 

 

Jadi nggak usah heran, kenapa orang enggan naik angkutan umum ?

Kenapa Jakarta jadi macet ?

Kita serahkan pada ahlinya sajalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline