Lihat ke Halaman Asli

Jelajah Surabaya (Bagian 3)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika di hari pertama kemarin aku menyambangi dua tempat, yaitu : Jembatan Suramadu dan Pantai Kenjeran. Maka, di hari kedua ini—hari terakhirku di Surabaya. Aku bertekad, “Pokoknya satu hari ini, aku ingin keliling kota Surabaya”. Karena nanti malam, aku sudah harus bertolak ke Jakarta. Jatah cuti sudah habis, Senin sudah harus kembali kerja.

Hari ini, Sabtu. Untunglah, sepupuku libur kerja. Maka dengan mengendarai dua sepeda motor, berempat kami keliling kota.

[caption id="attachment_216371" align="alignleft" width="150" caption="Menu Sarapan"][/caption]

Sarapan dulu.

Pagi sekitar jam 8-an, kami meninggalkan rumah. Tujuan pertama yaitu Masjid Nasional Al-Akbar (Masjid Agung Surabaya). Inilah masjid terbesar keduadi Indonesia setelah Masjid Istiqlal. Lokasinya berada di samping jalan tol Surabaya – Sidoarjo.

Masjid ini memiliki sebuah kubah besar di bagian tengah yang bentuknya menyerupai setengah telur ayam, dan diapit 4 kubah kecil berbentuk limas di sekelilingnya. Dengan kubah berwarna biru bermotif jaring. Dilengkapi satu menara setinggi 99 meter.

[caption id="attachment_216373" align="aligncenter" width="300" caption="Maket Masjid Agung Surabaya"][/caption]

Luas bangunan dan fasilitas penunjang adalah 22.300 meter persegi, panjang 147 meter dan lebar 128 meter. Pintu masuk ke dalam masjid dibuat tinggi dan besar, mihrabnya adalah mihrab masjid terbesar di Indonesia.

Lantai dua dijadikan tempat resepsi. Saat aku di situ, sedang ada persiapan untuk sebuah resepsi pernikahan. Ada dua pilihan untuk mencapai lantai 2, melalui eskalator atau tangga. Dari lantai 2, bisa memandang bagian dalam kubah dengan jelas. Sungguh indah penuh ornamen.

Pembangunan masjid ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden Tri Sutrisno pada 4 Agustus 1995. Pembangunan sempat terhenti akibat krisis moneter. Dan dilanjutkan kembali tahun 1999. Kemudian diresmikan oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid pada 10 November 2000.

***

Dari Masjid Nasional Al-Akbar, kami menuju jalan Kya-Kya. Melewati Kebun Binatang Surabaya (KBS),gedung-gedung bertingkat yang modern, Gramedia Expo, Monumen Pers Perjuangan Surabaya, JMP (Jembatan Merah Plaza), dan akhirnya tibalah di jalan Kya-Kya.

Untuk bonbin KBS yang disebut-sebut pernah sebagai bonbin terlengkap se-Asia Tenggara, aku sudah pernah mengunjunginya di tahun 1997, jadi sudah tidak penasaran lagi.

[caption id="attachment_216382" align="aligncenter" width="300" caption="Dipotret dari atas motor yang sedang melaju"][/caption]

Yang pengen tuh, mampir ke Gramedia Expo tadi. Akh, lain waktu saja.

Tak jauh dari Kya-Kya. Sepupuku mengantarkan aku ke Masjid Agung Sunan Ampel sekaligus lokasi makam Sunan Ampel.

Aku dengan santai berjalan menyusuri gang kecil, jalan masuk menuju masjid dan makam. Gang ini dipenuhi pedagang yang berjualan baju muslim, sajadah, mukenah, tasbih, kerudung, dan jilbab. Ada juga penjaja makanan dan buah kurma. Pokoknya, di sisi kanan dan kiri jalan dipenuhi pedagang yang mengais rejeki dari peziarah.

[caption id="attachment_216384" align="aligncenter" width="300" caption="Para pedagang di sekitar Masjid Agung Sunan Ampel"][/caption]

Apa . . . peziarah ? Berarti ini kawasan ziarah, dong ? Yup, tempat ini dijadikan kawasan wisata ziarah religi sejak tahun 1972. Setelah diadakannya peringatan hari wafat Sunan Ampel untuk pertama kalinya.

Saat aku di sana, banyak peziarah yang berkunjung ke makam Sunan Ampel (Raden Muhammad Ali Rahmatullah) ini, yang terletak di belakang masjid. Ada sembilan gapura (melambangkan wali songo) yang dilewati untuk menuju makam. Tiga gapura merupakan bangunan asli peninggalan Sunan Ampel.

[caption id="attachment_216385" align="aligncenter" width="300" caption="Gapura menuju makam"][/caption]

Huaduh, kok ya aku baru sadar kalau aku satu-satunya wanita pengunjung yang tidak berkerudung. Tanpa tutup kepala. Aku baru ngeh, setelah membaca papan pengumuman yang mewajibkan wanita peziarah harus mengenakan jilbab / kerudung. Kutelisik sekitar, iya ya para wanita di sini berbaju muslim lengkap dengan jilbab yang rapi. Aku mendelik pada sepupuku yang cewek, pertanda protes. Dia sih mending, pakai jaket lengan panjang yang ada penutup kepalanya, jadi agak tersamar. Lah aku ? Aku kebetulan saja mengenakan kaos lengan panjang dan celana panjang, jadi masih terlihat sopan. Tapi tanpa penutup kepala. Huhu, tak bisa meneruskan langkah ke makam Sunan Ampel, nih.

[caption id="attachment_216391" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid Agung Sunan Ampel"][/caption]

Ya sudah, kembali ke depan. Masuk ke dalam Masjid Agung Sunan Ampel. Inilah masjid peninggalan Sunan Ampel yang sudah empat kali dipugar. Setelah dipugar, luas kompleks masjid Sunan Ampel menjadi sekitar setengah hektar. Mulanya, Sunan Ampel mendirikan masjid di atas lahan seluas 2000 meter persegi pada tahun 1421 Masehi.

Masjid ini disangga oleh 16 tiang penyangga dari kayu jati berukuran 17 meter tanpa sambungan. Tiang penyangga ini berumur lebih dari 600 tahun. Bisa kita dapati ukiran kuno peninggalan zaman Majapahit yang bermakna Keesaan Tuhan di tiang penyangga ini. Masjid ini berpintu banyak, loh ?! Ada 48 pintu yang masih asli, diameternya satu setengah meter dengan tinggi dua meter. Oya, masjid ini memiliki menara setinggi 50 meter yang dahulunya berfungsi sebagai tempat adzan. Di sebelah menara ada kubah dengan lambang ukiran mahkota berbentuk matahari—lambang kejayaan Majapahit.

Di sini juga ada sumur bersejarah yang sudah ditutup dengan besi. Katanya nih, airnya dipercaya mempunyai kelebihan seperti air zamzam di Mekkah. Selain itu, ada mihrab tempat Sunan Ampel berceramah semasa hidupnya. Sekarang sudah tidak digunakan lagi, karena rapuh. Beduk kecil berusia ratusan tahun yang ada di situ juga sudah jarang dipukul.

Berikutnya, sepupuku mengajak ke sisi kanan bangunan masjid. Di situ ada sembilan makam yang kesemuanya adalah makam satu orang yang dipanggil Mbah Soleh—pengikut Sunan Ampel. Konon, Mbah Soleh meninggal sembilan kali, karena itu makamnya ada sembilan. Selain itu, ada makam Mbah Bolong (nama aslinya Sonhaji). Beliau ahli dalam menentukan arah mata angin, terutama untuk menentukan arah kiblat.

Biasanya, pada bulan Ramadhan semakin banyak peziarah yang datang.

Bersambung . . .

sumber foto : Masjid Agung Sunan Ampel dan Gapura menuju makam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline