Lihat ke Halaman Asli

Minta Maaf, Pulihkan Kepercayaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

F

itrah manusia sejatinya mampu meminta maaf. Sang Khalik sudah membekali dia dengan suatu kemampuan insani yang esensial. Namun, kemampuan ini baru sekadar ”potensi” yang masih harus diasah dan dikembangkan agar menjadi tabiat melekat. Sayang sekali, negeri kita sudah lama kekurangan hitungan warga yang mampu meminta maaf secara efektif. Mulai dari elite pemimpin, tokoh anutan publik, hingga wong cilik sama-sama tidak terbiasa meminta maaf secara elegan.

Tidak berlebihan mengatakan, masyarakat bangsa kita terbiasa menjadikan permintaan maaf sebagai sebagai pilihan terakhir setelah melakukan suatu perbuatan salah, alih-alih menempatkannya sebagai salah satu keutamaan hidup. Tabiat kolektif kita sedikit membaik hanya pada satu dua atau segelintir momen bulan suci tertentu. Namun, seiring berlalunya kekhusyukan olah rohani, seluruh kepongahan hidup kembali berenteng-renteng membanjiri ruang-ruang publik. Asap rokok klepas-klepus keluar dari bibir perokok tanpa rasa sesal sudah mengotori pernapasan orang-orang di sekitar, berbagai jenis kendaraan dan pengguna jalan lainnya berebutan menembus kemacetan lalu lintas sehari-hari, dan intrik perebutan keuntungan politik 2014 mengisi panggung-panggung pemberitaan media massa.

Tindakan aktif

Banyak pejabat publik, tokoh anutan, dan para pesohor kita belum menyadari bahwa perkembangan zaman semakin menuntut kemampuan meminta maaf secara efektif dibanding era-era sebelumnya. Menurut John Kador, orang-orang yang mampu meminta maaf secara efektif akan dikenal sebagai seorang pribadi yang berkarakter kuat dan berintegritas (Effective Apology, 2009).

Permintaan maaf (apologi) bukan sekadar seperti yang dituntut pihak-pihak tertentu dari para tersangka pemeran video porno, bukan pula seperti permintaan maaf dua tersangka yang menyebut ”ketidaknyamanan atas pemberitaan media massa” tetapi sang pesohor itu sendiri belum terkesan menyesali perbuatan dirinya yang menyebabkan munculnya pemberitaan tersebut. Permintaan maaf yang efektif sama sekali berbeda dan tidak bisa disamakan dengan permintaan maaf semu!

Panggung publik kita membutuhkan teladan permintaan maaf yang efektif. Kita bisa bercermin dari tujuh puluh contoh yang diberikan Kador dalam bukunya, bahwa ditemukan permintaan maaf yang baik, permintaan maaf yang buruk, dan permintaan yang tidak efektif di tatar permaafan. Permintaan maaf yang buruk atau permintaan maaf yang tidak efektif hakikatnya sama dengan tidak meminta maaf. Hendaknya disadari bahwa lahirnya tuntutan permintaan maaf mengisyaratkan reaksi sempurna makhluk insani atas suatu ketidaksempurnaan. Tatkala seseorang berani meminta maaf, pada saat itu terkirim sinyal bening mengesankan bahwa ia pribadi yang berkarakter kuat dan mampu mendamaikan dirinya dengan kebenaran.

Permintaan maaf yang efektif merupakan suatu tindakan aktif oleh sang pemohon yang bersedia menerima tanggung jawab pribadi atas suatu pelanggaran atau kesusahan pihak-pihak lain. Ia berani mengungkapkan penyesalan pribadi secara langsung, lugas, dan tidak berbelit-belit atas pelanggaran tersebut (perbuatan melanggar itu disebutkan sebagaimana adanya!). Bahkan, ia bersedia menawarkan suatu kompensansi (jangan selalu diartikan bersifat materiil) yang disertai jaminan bahwa pelanggaran tersebut tidak akan diulangi kembali.

Dalam uraian Kador, permintaan maaf yang efektif memiliki lima dimensi, meskipun dengan kadar yang berbeda, yaitu (1) pengakuan (recognition); (2) penerimaan tanggung jawab (responsibility); (3) penyesalan (remorse); (4) penggantian kerugian (restitution); (5) pengulangan (repetition). Lima dimensi itu bisa disingkat 5P (bahasa Indonesia), atau 5R (bahasa Inggris).

Fenomena dunia

Kador menjelaskan fenomena dunia bahwa tuntutan permintaan maaf cenderung meningkat sekarang karena dua alasan. Pertama, globalisasi berdampak semakin merapatkan kita satu terhadap yang lain. Tatkala keragaman budaya, nilai-nilai, dan kepentingan yang berbeda saling berbenturan secara tak terelakkan, berkembang suatu sistem tatanilai yang bersifat global. Tatanilai global tersebut menempatkan permintaan maaf sebagai katalisator yang sangat penting untuk melumas setiap gesekan. Namun, apakah kata-kata Kador benar, bahwa ungkapan off the record, yang populer pada masa lalu, kini sudah tinggal kenangan?

Tampaknya, publik kita perlu belajar mengenali batas-batas yang pantas diungkapkan dalam pengakuan seseorang yang berstatus tersangka. Hakikat suatu pengakuan seharusnya mengacu pada perbuatan pokok, tidak sekadar berputar-putar pada efek-efek sekunder yang mengaburkan perbuatan pokoknya. Pada kasus video porno, perzinahan dan perselingkuhan adalah pelanggaran pokoknya. Ketidaknyamanan pemberitaan, peredaran video ke ruang publik, dan dugaan sudah mendorong perbuatan imoral lainnya merupakan efek-efek turunan meskipun tetap harus disesali.

Kedua, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menggeser makna komunikasi, akuntabilitas, dan kebebasan secara luar biasa. Berbagai jenis gadget berkamera dan layanan pengiriman rekaman video menembus hingga ke ruang-ruang pribadi. Di panggung dunia, Presiden George W. Bush mampu didesak untuk meminta maaf setelah dunia maya menayangkan foto-foto penyiksaan tahanan di penjara Abu Ghraib di Irak. Di Indonesia, rekaman tindak kekerasan di sejumlah sekolah kedinasan membuat publik kita meradang. Satu penyesalan hingga sekarang di negeri ini, nyaris tidak satu pun permintaan maaf pejabat publik, pesohor, atau seorang tersangka (bahkan yang sudah berstatus terpidana) tindak kejahatan apa pun bisa disebut permintaan maaf yang efektif!

Padahal, permintaan maaf semu atau permintaan maaf ”seolah-olah” sering lebih merusak dibanding sama sekali tidak meminta maaf. Cara terbaik untuk menyelaraskan kembali seluruh perbuatan dan sistem tatanilai kita, serta membantu kita menemukan kembali sesuatu yang hilang pada diri kita ialah dengan menerapkan permintaan maaf yang efektif.

Publik masih perlu bersabar, untuk bisa menyaksikan siapa pun entah pejabat publik, tokoh anutan, para pesohor, atau seseorang bukan siapa-siapa, berani memikul tanggung jawab pribadi, tatkala mereka didakwa melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran moral. Dalam contoh Kador, aktor Inggris Hugh Grant, berani mengatakan, ”Pada akhirnya, Anda harus jujur dan berkata, ’Saya telah melakukan perbuatan yang tidak terhormat, kotor, dan menjijikkan’,” setelah publik mengetahui pelanggaran moral Grant yang berhubungan gelap dengan seorang pekerja seks komersial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline