Semua mata tertuju pada debat Cawapres kemarin (17/03), dimana banyak tanya dan ekspektasi publik bermunculan, bahkan sudah ramai dibincangkan sebelum debat itu berlangsung. Debat yang mengusung tema: pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, serta sosial dan kebudayaan cukup memberi gambaran siapa cawapres kita sebenarnya. Selain itu, memang tugas berat ada di pundak mereka sebab dianggap sebagai faktor kunci bagi capres masing-masing.
Harus diakui bahwa kedua cawapres kali ini benar-benar menyita perhatian publik, mulai dari sisi usia, keunggulan finansial, faktor akademis hingga urusan penampilan yang kerap kali memang lebih diperhatikan publik ketimbang kedua capresnya. Dan di sinilah momentum para cawapres mencari peluang peneguhan eksistensi, baik dari sisi kepribadian, kapasitas intelektualitas, kemampuan memahami delik permasalahan negara, hingga performa komunikasi mereka.
Nah, dalam debat kemarin, head to head Kyai Ma'ruf vs Sandi terbilang cukup mengejutkan, terutama dari sisi Kyai Ma'ruf yang justru tampil gemilang. Ada beberapa catatan saya:
Pertama, Kyai Ma'ruf menonjolkan banyak sektor penting dalam debat ini, namun yang paling menarik bagi saya ketika beliau mampu memaparkan kebaruan dan peneguhan terhadap posisi Jokowi selama debat. Misalkan, ia berbicara tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kartu Indonesia Pintar (KIP), berbicara riset dan perguruan tinggi, hingga menyinggung persoalan budaya Indonesia yang dinilai kurang diperhatikan.
Hal ini agak sedikit terbalik dengan Sandi yang malah mengulang-ulang gagasan seperti penyelesaian tata kelola BPJS, menghapus UN, bahkan membawa kembali program Oke Oce yang pernah dikerjakan selama menjadi wagub DKI Jakarta. Meskipun gagasan ini juga dinilai tak kalah bagus, namun karena kerap diulang-ulang, malahan dianggap tak ada kebaruan.
Kedua, barangkali, ya, hanya barangkali, Sandi memang nampak tersandera; dari sisi adat ketimuran untuk menghormati sepuh, sehingga ia tidak leluasa berdebat dan mulai bermain santun dan hati-hati sekali. Hal ini justru membuat Pak Kyai nampak lebih leluasa dan unggul baik dari sisi retorika maupun organisasi gagasan.
Ketiga, performa komunikasi. Nampaknya, debat capres hingga cawapres kemarin tidak hanya mengejutkan tapi membuat publik tertarik atas jalannya debat yang santun, sekaligus performa komunikasi Kyai Ma'ruf yang lebih baik daripada debat perdana capres-cawapres (meskipun dalam sesi berikutnya, para cawapres nampak bermain aman).
Di lain sisi, proses koorientasi atau komunikasi dan konsolidasi gagasan dalam debat kemarin, terlihat bertujuan untuk memperebutkan kelompok undecided voters ataupun swing voters, sehingga performa depan panggung nampak selalu dijaga. Ndilalahnya, Kyai Ma'ruf berbicara cukup lugas dan konstruksi pesannya jelas, terlebih saat berbicara menyoal pendidikan dan sedikit menyinggung persoalan startup.
Keempat, mengontrol narasi pascadebat, fungsinya untuk memperlancar proses koorientasi isu di masyarakat. Cara mengetahuinya gampang, mengacu pada tiga hal: Pertama, kongruensi yaitu pandangan pemilih tentang kandidat tertentu, apakah sudah sesuai penilaian mereka atau belum, begitupun sebaliknya.
Kalau sudah positif, maka perlu dipertahankan narasi tersebut di mata pemilih. Kedua, tingkat pemahaman publik terhadap produk yang disampaikan kandidat. Siapakah yang lebih baik menyampaikan gagasan? Ketiga, kesepakatan yang mendorong masyarakat untuk memilih salah satu pasangan kandidat Capres-Cawapres.
Kalau melihat perfoma debat semalam, Anda pilih siapa?