Jagat politik tanah air kembali dikejutkan Sang Raja Dangdut Rhoma Irama yang baru-baru ini mendeklarasikan partai anyar besutannya yaitu Partai Islam Damai Aman (PI) dengan platform islamis-pancasilais. Seakan tak jera bergelut di arena politik, Rhoma kembali menghimpun kekuatan usai loyalitasnya bertepuk sebelah tangan oleh PKB yang sebelumnya menggadang-gadang dirinya sebagai bakal Capres pada Pemilu 2014 lalu.
Kehadiran Partai Idaman dirasa begitu tiba-tiba, kun fa yakun. Mengejutkan. Tak, ada ormas sayap sebelumnya seperti cerita Nasdem dan Perindo. Lalu, bagaimana dengan nasibnya ke depan? Sebelum jauh, mari kita simetriskan perspesi terlebih dahulu bahwa Partai Idaman lahir karena dua sebab: Pertama, PI lahir dari inisiasi Rhoma Irama akibat tersisih dari persaingan di level elit PPP & PKB. Kedua, PI lahir dengan mengusung romantisme masa lalu Rhoma Irama. Bagaimanapun, popularitas Rhoma di belantara musik dangdut tak bisa dinafikan, sekaligus menjadi referensi kuat untuk partai ini ke depan. Itu pun, kalau mesin parpol ini cerdas mengelola harapan politik penggemar Sang Raja Dangdut.
Tantangan
Sekalipun Rhoma yang besar dari panggung dangdut mulai menjajal gelanggang politik sejak 1977 dengan berjaket Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kemudian tahun 1997 mencoba peruntungan di Partai Golkar, lalu kembali putar haluan ke PPP pada Pemilu 2009, dan akhirnya harus menelan pil pahit lantaran gagal menjadi bakal capres sesuai janji PKB pada Pemilu 2014, bukanlah jaminan bahwa Partai Idaman akan lepas landas dengan mulus.
Mendirikan partai politik bukan perkara mudah. Tidak hanya persoalan hak konstitusional untuk berkumpul dan berserikat, tetapi bagaimana menjawab tantangan politik kekinian. Ada beberapa tantangan Partai Idaman: Pertama, Ketatnya regulasi. Revisi UU Parpol Nomor 2 Tahun 2008 yang semakin diketatkannya aturan main pendirian Parpol yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011, membuat parpol baru kian kesulitan menembus arena Pemilu (kalau mau mengusung capres/kepala daerah secara mandiri).
Jangankan ikut Pemilu, ngurusi syarat-syarat ini saja bakal keteteran; Parpol harus memiliki kepengurusan di 33 Provinsi, 75 persen di kabupaten/kota di tiap provinsi, serta 50 persen kecamatan di kabupaten/kota seluruh Indonesia. Ditambah lagi beban dari paket UU Pemilu terkait peningkatan angka Parliamentary Threshold (PT) yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi mencapai 3,5 persen untuk mendapat jatah kursi parlemen. Kenyataanya, saat ini pengurus Partai Idaman barulah seorang Rhoma dan Sekjennya saja (baca di sini).
Kedua, Kekuatan finansial. Tidak dinafikan, sistem pendanaan dan sumber dana partai politik kita yang masih karut-marut, membuat parpol-parpol kecil tunggang-langgang dari arena kontestasi akibat besarnya cost politik. Tak ayal, beberapa partai terjebak bahaya laten korupsi para kader yang ditasbihkan sebagai mesin ATM parpol. Makanya tak heran, belakangan kencang berhembus usulan dana “santunan” parpol di Rumah Senayan sebagai bagian dari upaya melegitimasikan kehendak parpol untuk mengeruk uang rakyat secara “sah”. Bagaimana dengan Partai Idaman? Akankah para pedangdut menjadi donatur?hehehe.
Ketiga, Apatisme politik masyarakat terhadap kehadiran Parpol. Percuma partai menjamur tapi tidak mampu proaktif mengartikulasikan kepentingan publik ke dalam program kerjanya. Misalkan, agenda parpol A adalah melakukan advokasi terhadap kasus-kasus illegal logging di Sumatra, illegal fishing, kemiskin listrik di wilayah Indonesia Timur, atau kasus busung lapar dll. Kalau partai masih saja responsif, maka pembangunan pun akan berjalan kaget-kagetan. Tidak ada langkah preventif.
Keempat, Rekrutmen dan pengkaderan. Walaupun partai ini baru seumur jagung, tapi proses rekrutmen calon anggota/kader dan mekanisme pengkaderan anggota partai kudu diperhatikan secara serius dari sekarang. Hal ini berguna sebagai alat persuasi partisipasi aktif kepada simpatisan maupun masyarakat, terutama jika ingin membididik kader partai potensial. Output berupa pendistribusian kader pratai ini ke dalam jabatan publik nantinya, bisa dinilai dari sekarang melalui mekanisme ini.
Kelima, Elektabilitas partai Islam menunjukkan tren penurunan. Dari Pemilu 1955, elektabilitas partai Islam menguat 43,72 persen, namun menurut pada Pemilu 1999 menjadi 36,8 persen. Meski sempat menguat pada Pemilu 2004 dengan 38,1 persen, tapi anjlok lagi pada Pemilu 2009 menjadi 23,1 persen. Karena itu, Partai Idaman yang mengusung citra Islam, bakal sedikit kesulitan.