[caption id="attachment_362065" align="aligncenter" width="560" caption="Tampilan Headline Kotak Suara | Dok Pribadi"][/caption]
Dinamika tahun politik sepanjang 2014 di Indonesia menjadi fase krusial peralihan tampuk kepemimpinan nasional yang ditandai sejumlah helatan politik besar seperti Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres). Sebelumnya, kita pun sudah melewati tahapan warming up dengan beberapa pemilukada di seluruh Indonesia. Hingga menjelang tutup tahun yang hanya tinggal menghitungan hari saja, temperatur politik 2014 semakin memanas.
Skenario kontestasi politik terus bergerak massif dan dinamis, berganti arena dari panggung pilpres ke gelanggang legislatif. Sejumlah manuver politik antara kubu Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat jelas tersaji. Masing-masing memainkan pesona panggung depan (front stage) yang didukung agenda politik media afiliasinya. Belakangan, Group Media Indonesia yang menjadi salah satu saluran resmi komunikasi politik KIH gencar menjebol tanggul lumpur lapindo lewat siaran beritanya.
Di posisi lain, plot drama saling menyandera kekuasaan pun terjadi dalam ring Sidang Paripurna DPR menyoal RUU Pilkada yang dimenangkan KMP dengan perolehan 226 suara, selisih 91 suara dari KIH dengan total 135 suara. Media di bawah kendali Bakrie Group dan MNC Group juga atraktif mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi dan Kabinet Kerja. Penghancuran kapal-kapal illegal fishing oleh Kementerian Kelautan yang dinahkodai Susi pun tak luput dari sergapan kritisisme pemberitaan.
Teatrikal perebutan lahan kekuasaan ini menyuguhkan cerita dramatis dan sejumlah relasi antagonistik antaraktor dengan muatan beberapa irisan kepentingan. Bayangkan, Partai Demokrat (PD) tiba-tiba walkout dengan dalih 10 poin koreksi mereka diabaikan forum. Ironisnya, dari luar negeri SBY merasa menyesal karena aksi para kadernya di sidang paripurna waktu itu. Tak lama, SBY mengeluarkan Perppu untuk membatalkan RUU Pilkada oleh DPRD yang sudah di genggaman KMP. Pada scene ini, SBY harus diancungi jempol sebagai seorang coach politik andal. Hanya dalam satu surat keputusan, SBY mengkudeta kuasa Gerindra, Golkar, PKS dkk atas RUU Pilkada sekaligus menjadikannya isu milik Demokrat dan bargaining position Partai Demokrat (standing applause.hehe).
Lanskap politik yang saya gambarkan di atas, tentu tak lepas dari pengawasan dan kawalan publik, terutama attentive public (publik yang menaruh perhatian khusus pada dinamika politik). Sebagian besar tipologi publik atentive ini juga bermain di ruang publik virtual, berkomunikasi secara intens lewat jejaring sosial (FB, Twitter, Path, G+, instagram, dll). Salah satu media sosial yang menonjol dan sering dijadikan kelas round table politik para netizen di Indonesia yaitu Kompasiana. Situs yang berhasil menjawab tantangan teknologi web 2.0 ini, juga menjadi perhatian khusus para peneliti politik, pemerhati politik, dan aktor politik. Karena itu, saya akan membahas salah satu dari beberapa hasil penelitian tentang dinamika politik 2014 di Kompasiana. Salah satunya, penelitian yang dilakukan oleh Tri Isniarti Putri, S. Kom. I (Putri), terkait dinamika politik di Kompasiana.
Dalam konteks politik terkini, media sosial seperti Kompasiana sudah dimanfaatkan sebagai alat diseminasi politik sekaligus ruang diskursus politik bagi publik. Kita dengan mudah menemukan sekian banyak netizen hingga pejabat publik menumpahkan gagasan dan kritik politiknya di Kompasiana. Bukan hanya sekedar menulis, namun mereka secara kesadaran kolektif membentuk kelompok-kelompok diskusi kecil, membicarakan perihal politik terkini, hingga sosialisasi dan kampanye politik.
Riuhnya aktivitas diskursus politik di lini masa Kompasiana, difasilitasi pula secara khusus oleh pengelola dengan membuat kanal seputar politik dan pemilu yang disebut Kotak Suara 2014. Kanal ini sudah mulai online pada Januari 2014 dengan alamat www.kotaksuara.kompasiana.com. Pengguna (user) yang terdaftar sudah mencapai 241890 akun dengan total akun terverifikasi sebanyak 6426. Bagaimana bisa ada Kota Suara? Ini penuturan Mas Iskandar Zulkarnaen (Isjet) selaku pengelola Kompasiana:
"Gimana sih menerapkan sebuah dinamika politik di Kompasiana? Akhirnya, dibuatkanlah sebuah tempat yang khusus buat Kompasianer untuk ngomongin politik. Ya udah, namanya gampang aja, ya "Kotak Suara", itu sudah sangat Kompasiana, udah sangat warga gitu, kan. Ini ada kotak, isinya suara yang siapa pun bisa naro suara, itu udah sangat pemilu. Yah... sehingga yang kita hadirkan di Kotak Suara adalah tulisan-tulisan tentang berita atau pun opini mereka terkait pemilu, macam-macam dari pemilihan presiden sampe pemilihan legistlaitif dan kita tambahkan fitur-fitur seperti polling dan segala macam, dan ini memang kita buat agar pemilihan itu tidak berlalu tanpa ada pengawasan dari warga."
Begitu pun yang dibilang Kang Pepih Nugraha: "Ya, kita menampung tulisan warga berkaitan dengan kegiatan pesta demokrasi lima tahunan ini. Misalnya, kita secara sengaja dan secara setting, kita bikin yang namanya "Kotak Suara" di Kompasiana itu adalah microsite, boleh dibilang anak dari sebuah situs gitu. Memang dia punya subdom sendiri, halaman sendiri, namanya Kotak Suara. lalu di sana setiap orang kalo mau menulis tentang Pileg, Pilpres dan Serba Serbi Pemilu, ada di situ. Di situ artinya apa? artinya kita bisa mewadahi mereka dan memang ingin melaporkan kegiatan-kegiatan seputar pemilu begitu, mereka mau mempromosikan calegnya, atau jagoan presiden, silakan tetapi tidak menjelek-jelekkan orang lain, itu kita jaga."
Penelitian Putri terkait dinamika politik di Kompasiana, menggunakan teori konvergensi simbolik dengan paradigma konstrutivis dan pendekatan kualitatif. Putri secara khusus hanya membahas literasi politik di kompasiana terkait pemilu presiden. Sebelum menjauh pembahasan ini, saya ingin mengutip sedikit tentang terori yang digunakan tanpa lebih lebar lagi menjelasan metodoliginya. Apa itu konvergensi simbolik?