Lihat ke Halaman Asli

Muhammad ShubhiHanafi

Master of Risk Management - University of Nottingham

Antara Kesalahan dan Kemanusiaan: Benang Kusut Santunan Kecelakaan Lalu Lintas

Diperbarui: 12 Desember 2024   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kecelakaan lalu lintas selalu menyimpan cerita yang rumit, di mana garis antara kesalahan dan kemanusiaan seringkali kabur. Pertanyaan fundamental yang kerap memicu perdebatan adalah: Apakah seorang pelanggar lalu lintas yang terlibat kecelakaan masih berhak mendapatkan santunan?

Kompleksitas Hukum dan Sosial

Setiap tahun, ribuan kecelakaan lalu lintas terjadi di jalanan Indonesia. Dihimpun dari Data Korlantas Polri, tahun 2023 terjadi lebih dari 150 ribu kasus kecelakaan yang melibatkan kendaraan bermotor di jalan raya.  Angka tersebut meningkat 10,3% dari tahun 2022 sebesar 137 ribu.  Kecelakaan tersebut membawa dampak yang kompleks tidak hanya secara fisik dan material, tetapi juga dari segi hukum dan kemanusiaan. Ketika seorang pengendara yang terbukti melanggar aturan lalu lintas mengalami cedera, apakah dia masih layak mendapatkan perlindungan dan santunan? 

Saya coba ilustrasikan agar mudah dipahami konteksnya. Semisal ada seorang pengendara motor berbalik arah (U Turn) di ruas jalan yang tidak diperbolehkan berbalik arah. Singkat cerita, pengendara motor tertabrak mobil yang sedang melaju kencang dari arah berlawanan. Laporan Polisi menyimpulkan kecelakaan lalu lintas diakibatkan oleh pengendara motor yang tidak tertib mematuhi rambu lalu lintas. Apakah pengendara motor tersebut berhak atas santunan? 

Perlu saya tekankan bahwa konteks pelanggaran yang saya maksud berfokus pada pelanggaran rambu atau aturan dalam berlalu lintas sebagaimana diatur dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, seperti melawan arus, menerobos palang pintu kereta api, melampaui batas kecepatan, dan lain-lain, serta tidak termasuk pelanggaran akibat mabuk atau dibawah pengaruh obat-obatan terlarang, percobaan bunuh diri, atau kecelakaan sebagai akibat dari perbuatan tindak pidana.

Dari perspektif hukum, orang yang berhak atas santunan adalah korban yang berada di luar alat angkutan yang menimbulkan / menyebabkan terjadinya kecelakaan (Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 1965). Dari pengertian ini, pengendara motor yang juga sebagai penyebab terjadinya kecelakaan, tidak berhak atas santunan. Sehingga apabila ia mendapat santunan, hal tersebut merupakan "keuntungan" yang tidak selayaknya diterima oleh si korban.

Namun di sisi lain, bila yang dikedepankan adalah aspek moral dan sosial, maka sesungguhnya tidak ada yang berniat untuk celaka di jalan raya. Tidak semua kelalaian pengguna jalan yang berujung kecelakaan lalu lintas, dimaksudkan untuk mengambil keuntungan berupa santunan. Dalam hal ini, negara wajib hadir dalam melindungi seluruh warga masyarakatnya. Bila argumen ini yang diyakini, maka sah-sah saja bagi negara untuk hadir memberikan perlindungan atas kecelakaan lalu lintas bagi seluruh warganya. 

Perspektif Asuransi

Dalam perspektif asuransi, semua kembali pada term and condition yang berlaku. Akan dilihat lagi sejauh mana kejadian kecelakaan tersebut diatur dalam klausul polis asuransinya. Pada kondisi dimana tertanggung dalam posisi melanggar lalu lintas, mungkin perusahaan asuransi akan memberikan pembatasan pada penggantian klaimnya. Katakanlah hanya 50% dari total klaim. Secara psikologis, hal ini akan mendorong masyarakat untuk lebih taat dalam berlalu lintas, mengingat konsekuensi yang harus ia tanggung apabila terjadi musibah di jalan raya akibat kelalaiannya. Adanya sistem dan aturan yang jelas akan mendorong aksi kepatuhan dan kesadaran dalam berkendara dengan tertib. Tidak menutup kemungkinan dalam jangka panjang, jumlah kecelakaan lalu lintas dapat ditekan, dan fatalitas korban menurun. 

Di Indonesia, perlindungan dasar atas kecelakaan lalu lintas diselenggarakan oleh PT Jasa Raharja. Perusahaan tersebut menjalankan mandat Undang-Undang Nomor 33 dan34 Tahun 1964. Dalam mengelola mandat tersebut, Direksi diberikan kewenangan dalam melakukan pengaturan atas perlindungan bagi korban kecelakaan yang secara ketentuan tidak terjamin. Saat ini, korban tidak terjamin masih dimungkinkan untuk diberikan santunan secara full berdasarkan kebijakan Direksi. Namun, kebijakan ini tentu bisa saja berubah dimana PT Jasa Raharja menerapkan pembatasan atas nominal santunan bagi korban yang tidak terjamin. Beberapa alasan dapat menjadi pertimbangan bagi Jasa Raharja untuk memberlakukan kebijakan pembatasan santunan, antara lain:

  • Semakin berat pelanggaran, semakin kecil kemungkinan mendapatkan santunan penuh. 
  • Harus ada konsekuensi atas setiap pelanggaran yang dilakukan.
  • Pembatasan santunan dimaksudkan sebagai langkah edukasi untuk meningkatkan kepatuhan berlalu lintas.

Jika suatu saat PT Jasa Raharja memberlakukan kebijakan pembatasan santunan bagi korban yang tidak terjamin, maka kebijakan ini perlu didukung oleh beragam pemangku kepentingan serta dilandasi atas konsensus dengan semangat dan tujuan yang sama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline