Lihat ke Halaman Asli

Muhammad ShubhiHanafi

Master Candidate of Risk Management - University of Nottingham

Bicara Risiko Perpindahan Ibu Kota

Diperbarui: 30 Desember 2019   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak pertengahan tahun 2019 hingga hari ini ramai diberitakan rencana perpindahan Ibu Kota Negara RI ke Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Keputusan ini tak lepas dari serangkaian proses pengelolaan risiko yang terstruktur dan komprehensif. Mulai dari pemetaan potensi sumber daya serta ancaman bencana di lokasi tujuan, analisis biaya dan manfaat, serta rencana eksekusinya.

Terlalu kompleks bila semua ini dipaparkan ke publik, namun masyarakat perlu tahu. Terlebih guna menjawab apa dampaknya bagi penduduk lokal khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Di sinilah peran komunikasi risiko.

William Leiss (pernah menjabat sebagai pimpinan Royal Society of Canada) membagi evolusi komunikasi risiko dalam 3 fase.

Fase ke-1 (1975-1984) menitikberatkan pada aspek kuantitatif semata, sangat teknikal dan pragmatis. Besar kecilnya risiko diukur secara matematis.  Apa maknanya skala risiko 10 (misalnya). Apakah ini baik atau buruk? Hanya kalangan terbatas yang mungkin memahaminya sehingga seringkali risiko ini dipersepsikan secara keliru oleh publik yang umumnya awam terhadap istilah risiko. 

Fase ke-2 (1985-1994) mulai mempertimbangkan karakter masyarakat sebagai objek komunikasi risiko. Fase ini mengadopsi teknik marketing yang digunakan untuk mempengaruhi perilaku konsumen. Masyarakat yang berpotensi terdampak risiko diundang untuk diskusi bersama membahas kebijakan manajemen risiko. Dari sini timbul rasa dihargai dan dibutuhkan yang selanjutnya akan mampu mengubah perilaku apatis masyarakat menjadi suportif.

Fase ke-3 (1994 - sekarang) mulai menyadari bahwa melibatkan publik saja tidaklah cukup. Otoritas penanggung jawab risiko harus menunjukkan komitmen tinggi terhadap pengelolaan risiko secara berkelanjutan.

Sejauh ini, serangkaian komunikasi teknis yang dilancarkan pemerintah RI sejatinya telah sejalan dengan fase ke-3. Dokumen hasil asesmen risiko diolah menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat awam, alih-alih mempublikasikan hasil laporan tersebut apa adanya.

Manajemen risiko dikomunikasikan melalui berbagai media dengan pernyataan seperti "kajian telah dilakukan", "lokasi aman dari bencana, sumber air bersih juga tersedia", "MRT akan dibangun", "desain ibu kota telah dirilis", "pembangunan jalan tol sudah dimulai", "tidak akan ada pabrik di ibu kota yang baru" dan dalam setiap kesempatan, Presiden RI Joko Widodo selalu menyampaikan keseriusannya menggarap proyek ini.

Pesan-pesan ini dipersepsikan oleh masyarakat bahwa pemerintah dalam hal ini dapat dipercaya. Bahwa pemindahan ibu kota tidak semata-mata memindahkan DKI Jakarta dengan segala kompleksitasnya, namun turut memperhatikan aspek jangka panjangnya. Terlebih lagi, isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat turut diperhatikan seperti ketersediaan sarana transportasi umum, dampak ekonomi lokal serta masalah polusi.

Pada akhirnya, tujuan komunikasi risiko yang efektif menurut Paul Slovic dan Donald J. MacGregor dalam karyanya The Social Context of Risk Communication adalah menumbuhkan kepercayaan publik. Apakah tujuan ini tercapai? Rakyat boleh menilai. Yang lebih penting lagi adalah keterlibatan masyarakat dalam mengawal mega proyek tersebut agar sejalan dengan apa yang dikomunikasikan saat ini. Komunikasi dua arah antara pemerintah selaku inisiator dan masyarakat lokal selaku pihak yang terdampak risiko harus senantiasa dibangun. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline