Lihat ke Halaman Asli

Penantian Cinta dalam Naungan Akhir Zaman

Diperbarui: 9 Januari 2024   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Aku tak bisa berlama-lama menunggu dirimu dengan penantian cintaku dalam kabut siang yang aku tenun dengan jarum waktu. Aku tak bisa berlama-lama tidur di pelupuk matamu dengan harap cintaku, kala tetes keringat mencuri kesempatan, melebur dengan hujan air mata yang tak juga jatuh di tanah ibamu.

Aku tak bisa berlama-lama menunggu dirimu dengan hampa cintaku dalam kantukku, yang selalu membaca zaman yang telah kehilangan aroma di balik tirai rangkaian kata bocah yang hidupnya tak pernah terungkap.

Aku coba bidik neraka yang kau sulap menjadi surga. Aku coba mengerang, sementara kau asyik mengarang cerpen yang kau panjangkan melampaui judul yang tak punya hari---mengartikan sejuta serpihan paragraf yang berserakan menyembunyikan makna kebenaran Ilahi dalam penampakkan kepalsuan modernisasi.

Entah mengapa kau masih saja menyimpan duka dilembaran kertas yang selalu menghibur kepala-kepala yang meneriakkan kesunyian dan meramaikan keterasingan.

Tak juga aku mengerti. Masih saja berhamburan dan berduyun-duyun, anak-anak yang kehilangan induk peradaban mengunjungi sekolah-sekolah dan kampus-kampus recehan sambil memuja buku-buku yang hanya menawarkan kemanjaan pikir yang meninabobokan dengan tawaran-tawaran instant atas nama kemajuan sains dan teknologi. Mereka pun di giring pada harapan-harapan palsu agar kelak ketika mereka mendapatkan sertifikat kelulusan bisa duduk santai di ruangan ber-AC, sambil melelang kepala mereka untuk ditukarkan dengan pasir, minyak, gunung, hutan, laut dan emas yang hanya bisa dinikmati sebatas mata dan tenggorokan.

Kini panas cintaku telah lelehkan rinduku seiring jarum waktu yang terus berputar. Suka ataupun tidak, seperti itu juga, rela tak rela, aku harus menerima kabut yang menyelimuti dan membelenggu pemberontakan Rusa pada Macan. Aku pun dipaksa untuk tunduk merunduk, duduk di atas sofa menikmati kebohongan AC untuk menghilangkan gerahku yang dipaksa jendela kaca, pintu kaca, meja kaca dan gedung-gedung kaca. Tak seperti dulu, saat aku duduk santai di gubuk pinggir sawah nenekku setelah seperempat hari mentari menemaniku mencangkul tanah yang semalam dikunjungi hujan. Angin spoi-spoi dengan tulus menghisap tetesan-tetesan keringat yang membasahi baju lusuhku sebagai saksi lelahku yang berharap berkah.

Apapun yang terjadi saat ini, aku tak perlu menangis apa lagi iri pada tawa, ceria dan bahagianya zaman penuh kemanjaan dan serba instan ini. Sebab, tidak akan lama lagi, peradaban sekuler akan merengek, meminta, memelas dan memohon untuk berharap kembali pada Syura binaan Ajengan di kampung tempat dulu aku nadzoman, mengaji, menuntut ilmu dan memahami kitab suci. Sebab, sebahagia apapun aku nikmati ketinggian pikir dan keangkuhan peradaban cangkang ini, semuanya akan berakhir menjadi sampah sejarah, lalu mati berganti dengan peradaban Ilahi ketika aku tak henti keluarkan keringat dakwah menyeru umat untuk menyadari bahwa hanya dengan menerapkan seluruh aturan-Nya tanpa kecuali, peradaban umat manusia akan berganti menjadi sebuah peradaban yang menempatkan manusia sebagai khalifah di muka bumi, dan menjadikan manusia sadar bahwa hidupnya hanya untuk menjadi abdi-Nya semata, bukan abdi modernisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline