Lihat ke Halaman Asli

Shopian Hadi

Belajar, membaca dan menulis

Sesat Pikir Diskresi

Diperbarui: 2 Maret 2018   12:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penggunaan jalan raya Tanah Abang dan trotoar di Melawai, Jakarta Selatan untuk pedagang kaki lima berjualan memantik kritik dan sorotan kepada pemerintah DKI Jakarta. Gubernur DKI, Anis Baswedan maupun Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno,  menganggap hal itu sebagai kebijakan untuk mengatasi masalah Ibu Kota dan diskresi walaupun melanggar aturan. Terbaru, Sandiaga Uno mengatakan menggunakan hak diskreasi agar PKL bisa berjualan di Trotoar Melawai.

"Ada diskresi yang harus kami buat karena ini ada 75 lapangan kerja, (jika) dikali dua, paling tidak ada 150 lapangan kerja yang kami ingin selamatkan di sini," kata Sandiaga, di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (28/2/2018). Baca artikel di Kompas.com dengan judul "Sandiaga Pakai Hak Diskresi agar PKL Bisa Berjualan di Trotoar Melawai", https://megapolitan.kompas.com/read/2018/02/28/21171031/sandiaga-pakai-hak-diskresi-agar-pkl-bisa-berjualan-di-trotoar-melawai.

Apakah benar pejabat pemerintahan DKI Jakarta menggunakan hak diskresi dalam masalah tersebut. Untuk menjawab itu sebaiknya melihat pengertian diskresi yang sebenarnya sebagai salah bahasan dalam ilmu administrasi negara. Bahasan ini untuk meluruskan makna, tujuan dan lingkup diskresi agar tidak terjadi sesat fikir, apalagi dilakukan oleh aparatur pemerintahan.

Untuk diketahui, diskresi baru dapat kita temuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP), itupun setelah lama menjadi perdebatan terutama menyangkut kasus hukum pejabat pemerintahan yang terjerat korupsi. Bagai pakar hukum dan administrasi negara, batasan diskreasi saat itu jelas. Namun setelah hangat dengan berbagai kepentingan terkait tindakan dan kasus hukum, pemerintah menetapkannya dalam UUAP.

Kehadiran UUAP yang terdiri 89 pasal ini dimaksudkan untuk menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas badan dan/atau pejabat pemerintahan, memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan, melaksanakan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan dan menerapkan azas-azas umum pemerintahan yang baik (AUPB), dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat.

Secara etimologis, diskresi berasal dari bahasa Belanda, yaitu Discretiediartikan sebagai 'kesederhanaan, sifat hati-hati, sifat diam, kesadaran untuk tidak menyampaikan sesuatu' (S. Wojowasito, 2003: 146). Sedangkan dalam UUAP pada Pasal 1 Angka 9, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Apakah benar tindakan Pemerintah DKI Jakarta yang mengizinkan PKL di Melawai Jakarta Selatan yang berjualan di trotoar sebagai tindakan diskresi. Dari bahasan tadi tentu saja tindakan dan pernyataan Sandiaga Uno tersebut bukan termasuk diskresi. Karena pada penjelasan pasal 22 ayat 2 UUAP jelas disebutkan diskresi a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Adapun yang dimaksud dengan stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya: keadaan bencana alam atau gejolak politik.

Mengizinkan PKL Melawai berjualan di trotoar maupun menutup jalan untuk berjualan tentu saja tidak memenuhi persyaratan diskresi tadi dan menganggu kepentingan masyarakat umum yang lebih luas. Toh sudah jelas ada Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maupun aturan  Perda Ketertiban Umum, Perda Transportasi. Karena itu tindakan pemerintah DKI Jakarta dan pernyataan demikian lebih sebagai sesat fikir diskresi. Karena diskresi pejabat pemerintahan harus meliputi pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan; karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur; tidak lengkap atau tidak jelas; dan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Lebih jauh lagi, tindakan Pemerintah DKI Jakarta dan pejabatnya memang bukan menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya sebagai salah satu hak yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan dan atau tindakan. Namun lebih sebagai kebijakan populis dan politis sebagai upaya menjaga pencitraan pemerintahannya. Bisa saja juga ditengarai terkait dengan janji politik masa lalu dan kedepannya dengan mengorbankan hak masyarakat luas. Tetapi yang jelas, menambalkan citra pemerintah yang tidak tegas, lembek menegakan peraturan, tidak memberikan solusi yang berpihak dan menambah masalah kepada masyarakat luas, dan sesat fikir diskresi.

Sedangkan pilihan bagi kita masyarakat, menuntut dikembalikannya hak pengguna jalan dan pejalan kaki atau selamat menikmati semrawutnya Ibu Kota.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline