Media massa memberitakan siswa-siswi sebuah sekolah yang terletak beberapa kilometer dari ibukota Provinsi Jambi harus belajar di gudang karena kekurangan ruangan kelas belajar. Kemudian tidak berselang lama media memberitakan mahasiswa sebuah universitas negeri melakukan unjuk rasa menuntut transparansi pengelolaan dana dan pemenuhan sarana prasarana kampus. Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap 16 pejabat, DPRD, dan swasta terkait Pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jambi 2018. Miris karena terkait anggaran pembangunan kesejahteraan rakyat.
Tanggapan masyarakat dan pejabat terhadap tiga kejadian tadi dipastikan berbeda. Sekalipun siswa sekolah belajar di gudang itu berada di kabupaten, universitas dan APBD Provinsi Jambi juga dalam kewenangan yang berbeda. Namun rakyat bertanya-tanya dan sanksi, bahwa ada keterkaitan erat antara jeleknya sarana prasarana pendidikan, kesehatan, infrstruktur serta pembangunan lainnya dengan transparansi anggaran. Sekolah dan rumah dinas guru rusak, siswa belajar di lantai, jalan dan jembatan rusak, fasilitas kesehatan rusak hingga toilet rusak, seakan menunjukan pengabaian terhadap kebutuhan pelayanan dasar.
Nah pejabat yang mengurusi pendidikan di kabupaten tadi enteng menyatakan, kekurangan kelas akibat keterbatasan anggaran dan pembangunan kelas baru akan dianggarkan. Pejabat universitas negeri yang menerima unjukrasa mahasiswanya itu hanya berjanji memenuhi tuntutan mahasiswa untuk sarana prasarana dan transparansi anggaran. Konon, salah satu contoh sarana prasarana yang dikeluhkan, ribuan mahasiswa kampus tersebut hanya memiliki beberapa toilet umum yang berbanding terbalik dengan megahnya gedung dan luasnya lahan universitas.
Maka rakyat tentu bisa menelisik dan menilai apakah anggaran yang terbatas menjadi kendala utama dalam memenuhi fasilitas pelayanan. Seperti alasan si pejabat tadi di atas. Alasannya berakar dari masalah keterbatasan anggaran, sedikit-sedikit tidak memiliki anggaran, anggaran menjadi alasan klasik plus andalan. Apakah benar masalah keterbatasan anggaran, atau anggaran cuma jadi kambing hitam.
Menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat kebijakan dan program pembangunan oleh aparatur dan disetujui wakil rakyat secara menyeluruh yang dimulai dari perencanaan. Perencanaan kebijakan atau program yang banyak mengabaikan hak-hak masyarakat, kurang partisipatif, tidak berorentasi pada masalah dan realitas kondisi lapangan akhirnya akan menimbulkan masalah kekurangan kelas, sekolah rusak atau tidak memiliki toilet sebagai bagian saran prasarana pendidikan.
Sekalipun ada mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau semacamnya pada instansi, satuan pendidikan, perguruan tinggi dan pemerintah, seakan gagal menangkap realitas dan prioritas pelayanan atau dikesampingkan dengan berbagai alasan. Bukan rahasia, sejumlah kebijakan serta program yang tidak menyentuh diutamakan dalam penganggaran.
Hal ini bisa diibaratkan, mana yang lebih penting membangun toilet umum untuk siswa, mahasiswa atau masyarakat pengguna layanan publik berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan merenovasi atau mempercantik ruangan atau toilet pimpinan. Sama seperti antara lebih mementingkan anggaran rapat dan perjalanan dinas pegawai daripada membangun kelas baru atau pengadaan bangku dan meja sekolah-sekolah.
Ekstrim dan buruknya lagi, perencanaan pembangunan yang berbasis anggaran kepentingan alias anggaran proyek titipan. Sejumlah program pembangunan maupun proyek tertentu yang akan dilaksanakan sudah menjadi sasaran untuk bancakan antara pejabat, wakil rakyat dan swasta. Operasi tangkap tangan (OTT) KPK menangkap 16 pejabat, DPRD, dan swasta terkait Pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jambi 2018 dengan bukti uang Rp 4,7 miliar lebih tadi sebagai salah satu indikasinya.
Bicara perencanaan anggaran yang partisipatif dan transparan, penggunaan dan pengawasan anggaran oleh publik bisa diukur dari instrumen menampung partisipasi, transparansi dan pengawasan itu sendiri. Itu ditujukan dengan kebijakan dam keinginan politik pengambil kebijakan. Bila belum dilaksanakan, maka itu bagian dari indikasi melakukan penyimpangan anggaran. Bentuk transparansi anggaran itu, banyak yang tidak dipublikasikan secara luas oleh instansi, perguruan tinggi dan pemerintah yang seharusnya menjadi kewajiban tidak ditaati.
Padahal informasi itu tidak masuk kategori informasi yang dikecualikan di era keterbukaan informasi publik. Sulitnya mengakses informasi anggaran berbagai website pemerintah dan perguruan tinggi dialami penulis dan masyarakat lainnya. Kecuali beberapa daerah dan instansi seperti DKI Jakarta, Surabaya, Bandung dan beberapa daerah lainnya yang penganggarannya bisa dilihat detail. DKI Jakarta saja yang menerapkan E-Budgeting, APBD mudah diakses, masih saja banyak anggaran yang dinilai tiba-tiba muncul maupun tidak berpihak ke publik, apalagi daerah-daerah dengan sistem anggaran yang serba kabur.
Perencanaan serta transparansi anggaran, sebenarnya juga menyangkut upaya mendapatkan anggaran pendapatan dan belanja dari berbagai sumber yang sah untuk pembangunan. Maka alasan keterbatasan anggaran akan terjawab dengan beberapa kemungkinan yaitu perencanaan anggaran yang buruk, tidak maksimalnya pendapatan dan atau ada permainan koruptif dalam sistem penganggaran. Hal itu dilakukan, dengan kurangnya upaya mengeruk pendapatan daerah, sengaja menetapkan target pendapatan yang rendah, atau pendapatan asli daerah tersebut sengaja bocor melalui negosiasi menguntungkan segelintir pejabat dan swasta.