Kriminalitas di kalangan anak-anak, dewasa ini menjadi isu di luar nalar yang tak terbantahkan. Kabar buruk ini tidak bisa lagi ditanggapi dengan santai. Seperti misalnya, maraknya kasus prostitusi anak, bahwa ada yang harus dievaluasi dengan tanggap dan serius yang sifatnya berkelanjutan dan evaluatif.
Menanggapi pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang berpandangan bahwa anak-anak masih rentan terjun ke dalam prostitusi online, maka sebagai solusinya adalah peran orang tua yang harus memiliki kedekatan batin dengan anak (Kompas, 25/9/2023). Koneksi batin yang dimaksud KPAI adalah karena anak telah kehilangan figur orang tuanya yang menyebabkannya bisa masuk terjerambab dalam kasus prostitusi. Tak cukup di sana, KPAI pun menguatkannya dengan data, seperti hasil penyelidikan kasus yang motifnya karena orang tuanya justru terlibat menjual anaknya dalam bisnis tersebut akibat kemiskinan, juga karena strategi mucikari yang mencari anak-anak yang berasal dari keluarga bermasalah (kurang harmonis). Artinya, ada yang salah dari figur orang tua karena ada kewajiban yang tidak diperankan dengan semestinya.
Peran pengasuhan dalam hal ini akan selalu menjadi objek evaluasi yang paling kentara. Karena yang menjadi sebab paling mendasar dari proses anak hingga terjebak prostitusi, atau meminjam istilah KPAI yakni 'pemanfaatan berlapis' hingga pada sampai di tahap kasus ini merupakan puncak dari rangkaian masalah yang tidak selesai, maka yang menjadi kata kunci paling mendasar untuk diperbaiki adalah pola asuh di keluarganya. Hal ini turut dikuatkan psikolog anak Ghianina Yasira Armand, BSc Psychology, MSc Child development yang dilansir Kompas (6/2/2020) bahwa diantara pemicu maraknya prostitusi anak adalah faktor pendidikan.
Koneksi Batin Orang Tua dan Anak
Munculnya gagasan mengenai pentingnya koneksi batin orang tua dan anak merupakan hal yang wajar sebab inilah yang menjadi hulu permasalahan. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chang, Lansford, Scwartz, Farver (Izzaty, 2008) yang mengatakan bahwa adanya korelasi positif antara pengasuhan yang negatif dengan munculnya tingkah laku bermasalah pada anak. Juga hasil penelitian oleh Putra (dalam Andayani,2001) bahwa hasil-hasil perlakuan salah (maltreated) terhadap anak yang terjadi dalam ranah publik dan domestik mayoritas dilakukan oleh orang tua mereka.
Pola asuh orang tua menjadi pusat permasalahan yang menyebabkan timbulnya penyimpangan prilaku pada anak di kemudian hari. Artinya, menjadi orang tua membutuhkan ilmu. Kasus prostitusi anak sebagai gambaran produk pendidikan keluarga yang gagal. Oleh karena itulah, tatanan yang paling pertama dan utama diperbaiki adalah rumah tempat si anak dibesarkan, tempat si anak seharusnya menjalin kedekatan dengan orang tuanya.
Menurut hasil penelitian Eva Imania Eliasa (2011) mengutip teori kelekatan dari John Bowlby menjelaskan bahwa hubungan orang tua dengan anak akan bertahan cukup lama, maksudnya mempengaruhi proses hidupnya hingga di masa mendatang. Bila sang anak mengalami kekurangan kasih sayang dari ibu terutama, akan menyebabkan kecemasan, kemarahan, penyimpangan perilaku, dan depresi. Sebaliknya, kelekatan orang tua dan anak ditunjang pembentukan karakter yang kuat dari orang tua, maka diprediksikan anak akan berperilaku sosial yang positif, emosi yang sehat dan memiliki jiwa yang kuat pada masa remajanya kelak. Dengan kata lain, dalam manifestasinya, orang tua tidak cukup mengupayakan koneksi batin yang kuat dan dekat, tapi perlu ditunjang pendidikan kepada anaknya yang akan membentuk keberlangsungan karakternya di masa mendatang.
Pendidikan Seks
Dalam menanggulangi kasus prostitusi, hak pendidikan anak yang harus ditunaikan oleh orang tua di samping kedekatan dengan anak adalah pendidikan seksual. Dalam Islam, pendidikan seksual sebagai bagian dari pendidikan anak yang semestinya diperankan setiap orang tua. Mulai dari penanaman rasa malu berupa etika berpakaian, menumbuhkan sifat berdasarkan gendernya baik maskulinitas maupun feminitas, aturan tidur terpisah dengan orang tua saat usianya sudah cukup, etika berkunjung ke kamar orang tua, mengenalkan siapa saja mahramnya hingga batasan aurat, mengetahui jenis kelamin dan fungsinya, mengetahui mana bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh disentuh, menjaga pandangan serta batasan, dan sebagainya.
Hal-hal di atas yang sedianya tampak sederhana namun akan sangat berpengaruh bagi anak di kemudian hari. Berbekal pendidikan seks itulah, anak setidaknya memiliki kesiapan dan pegangan dalam menghadapi lingkungan yang tentu tidak mudah di luar sana. Dan semua itu seharusnya merupakan bagian dari kewajiban orang tua dalam membekali pendidikan anak guna menghindari penyimpangan di kemudian hari.
Dalam ranah praktik yang lebih kontekstual, tantangan orang tua masa kini semakin berat. Keberadaan teknologi semacam gadget juga bagian dari pendidikan seks yang tidak boleh terlewatkan. Anak perlu mendapatkan pengawasan ketat agar tidak terjatuh pada akses-akses yang dapat mendorongnya pada perilaku seksual yang tidak semestinya. Pemberian arahan dan bimbingan orang tua juga diperlukan agar anak mendapatkan penjelasan yang memadai berdasarkan kebutuhan usianya.